Jazz dipresepsikan sebagai musik kalangan elite perkotaan. Jazz itu musik yang sulit dan butuh kecerdasan untuk menikmatinya. Jazz adalah musik barat yang modern yang canggih. Citra seperti itulah yang biasanya muncul ketika kita berbicara soal jazz. Dan itu memang tidak keliru karena kebanyakan pertunjukan jazz dilakukan di hotel-hotel berbintang atau di klub jazz yang terletak di kawasan elite kota besar. Demikian juga dengan festival-festival jazz, biasanya diadakan di tempat yang bagus dan bertiket dengan harga yang cukup mahal bagi orang kebanyakan.
Segelintir seniman di Jogjakarta yang dimotori oleh Djaduk Ferianto memiliki gagasan liar : ‘Apakah jazz harus selalu dicitrakan sebagai musik kaum elite atau terpelajar ? Apakah salah kalau jazz dinikmati oleh orang-orang desa atau orang yang biasa-biasa saja ?’ Dari pertanyaan liar ini muncul ide : ‘Bagaimana jika jazz diadakan di desa dan menjadikan desa sebagai venue yang menyatu dengan pagelaran itu sendiri ?’
“Kami ingin merekonstruksi jazz”, demikian kata Djaduk dalam satu perbincangan, “kami ingin jazz bisa dinikmati oleh semua kalangan, jazz untuk rakyat.”
Bersama kawan-kawannya seniman seperti Hattakawa dan Aji Wartono dan yang lainnya, Djaduk menggodok ide ini dan alhasil lahirlah Ngayogjazz yakni sebuah festival musik jazz namun uniknya venue/lokasi pertunjukannya adalah desa. Dan yang lebih gila semua pertunjukan di festival ini GRATIS! Maka lahirlah Ngayogjazz yang pertama pada tahun 2007.
Lokasi terpilih adalah di Padepokan Seni Bagong Kussidiardjo Desa Kembaran, Kasihan Bantul. Tantangannya adalah bagaimana mengajak para seniman jazz untuk tampil.
“Networking dan kepercayaan”, demikian tutur Djaduk ketika ditanya apa kunci keberhasilannya mengajak artis kenamaan untuk tampil di Ngayogjazz. “Awalnya tidak mudah untuk mengajak mereka”, lanjutnya, “Karena konsep ini sama sekali baru, jazz di desa dan gratis.”
Yang bersedia diajak adalah mereka yang memang benar-benar mau mendedikasikan talentanya tanpa memikirkan honor mereka. Alhasil para seniman yang berhasil ‘dibujuk’ untuk tampil pada perhelatan perdana adalah Syaharani, Iga Mawarni, Tri Utami dan Viki Sianipar.
Di samping itu Ngayogjazz juga membuka kesempatan para musisi jazz muda yang memiliki potensi namun belum mendapat kesempatan tampil. Tentu saja melalui kurasi yang ketat dari tim kurator yang di bawah pimpinan Djaduk.
Spirit Ngayogjazz ini benar-benar spirit desa Yogyakarta : spirit gotong royong. Di Jogja para seniman sudah terbiasa saling dukung dan saling bantu. Ada yang memberikan pinjaman sound system dan alat musik mereka, ada juga yang mau tampil tanpa dibayar. Spirit guyub inilah yang menjiwai Ngayogjazz.
Spirit lain yang khas Jogja dan diadopsi oleh Ngayogjazz adalah plesetan. Plesetan adalah guyonan khas Jogja. Bahkan nama Ngayojazz adalah plesetan dari Nyayogyakarta. Tema-tema Ngayogjazz juga merupakan plesetan dari peribahasa jawa :
- “Jamane jama ngeJazz, yen ra ngeJazz ora KedumJazz” (2007) dari “Jamane jaman edan, yen ra edan ora keduman”
- “Nja-Jazz Desa Milang Kori” (2008) dari “Njajah Desa Milang Kori”
- “Jazz Basuki Mawa Beya” (2009) dari “Jer Basuki Mawa Beya”
- “Mangan Ora Mangan, Ngejazz” (2010, diadakan Januari 2011) dari “Mangan Ora Mangan, Ngumpul”
- “Nandoer Jazz ing Pakarti” (2011) dari “Nandur Woh Ing Pakarti”
- “Dengan Jazz Kita Tingkatkan Swasembada Jazz” (2012)
- “Rukun Agawe Nge-Jazz” (2013) dari “Rukun Agawe Santoso, Crah Agawe Bubrah”
- “Tung tak tung Jazz” (2014)
- “Bhinneka Tunggal Jazznya” (2015) dari “Bhinneka Tunggal Ika”
- “Hamemangun Karyenak Jazzing Sasama” (2016) dari “Hamemangun Karyenak Tyasing Sesama”
- “Wani Ngejazz Luhur Wekasane” (2017) dari “Wani Ngalah Luhur Wekasane”
- “Negara Mawa Tata, Jazz Mawa Cara” (2018) dari “Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata”
Demikianlah Ngayogjazz, membawa spirit desa namun tidak ndeso (kesan kampungan/muarahan). Seperti diakui Djaduk “Kita ini bekerja kayaknya gak serius, banyak guyonan dan guyub khas desa namun kami adalah profesional event organizer. Dokumentasi setiap kegiatan dan laporan finansial bagi para sponsor lengkap dan akuntabel.”
Hal ini bisa dibuktikan dengan bertahannya event ini hingga tahun ke-12. Jumlah pengunjung dari tahun ke tahun semakin bertambah.
Bahkan event ini sudah menjadi event yang setiap tahun ditunggu-tunggu masyarakat jazz. Jika di awal penyelenggara harus berjuang mencari musisi yang mau tampil, kini bahkan musisi ternama belum tentu mendapatkan panggung di Ngayogjazz. Penyelenggara sudah sangat selektif memilih artis yang akan tampil.
Bahkan tidak hanya musisi dalam negeri, musisi luar negeri pun sudah mulai mengenal event ini. Seperti pada Ngayogjazz 2018 yang baru saja berlalu tampil Kika Sprangers dari Belanda, Ozma Quintet dari Prancis juga Rodrigo Parejo dari Spanyol yang merupakan jawara-jawara jazz mancanegara selain jawara jazz Indonesia seperti Idang Rasjidi, Tohpati, Syaharani, Tompi dll. Mereka telah membawa Ngayogjazz menjadi festival jazz berkualitas internasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H