Kepada Yth.
Bapak Ir. Joko Widodo
Presiden Terpilih Republik Indonesia 2014-2019
Di Tempat
Perihal: Kesejahteraan kodok sebagai satwa liar
Dengan hormat,
Perkenankanlah kami untuk menyampaikan ucapan selamat atas terpilihnya Bapak Joko Widodo dan Bapak Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Republik Indonesia 2014-2019. Kami menyambut kemenangan ini dengan penuh rasa suka cita, syukur dan harapan akan masa depan yang lebih baik bagi negeri ini.
Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, kami Indonesian Society for Animal Welfare (ISAW) siap bekerja keras dalam mengawal dan membersamai setiap langkah pemerintah untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik, lestari, dan sejahtera. ISAW adalah kelompok pemerhati satwa yang bekerja untuk mendorong perbaikan standar kesejahteraan satwa atau animal welfare di Indonesia.
Terkait persoalan kesejahteraan satwa ini, kami bermaksud menyampaikan keprihatinan kami soal maraknya perburuan dan penangkapan satwa liar dari alam. Ancaman ini mengakibatkan penurunan populasi satwa di alam padahal tiap-tiap dari mereka berfungsi untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Berita yang seringkali muncul terkait perburuan dan perdagangan satwa biasanya seputar satwa-satwa dilindungi seperti gajah, harimau, lutung, dan orangutan. Kita seringkali melupakan bahwa satwa lainnya, seperti burung dan kodok, juga merupakan satwa liar dan tidak kalah penting peranannya bagi kesehatan ekosistem.
Meski banyak satwa liar tidak dikategorikan sebagai spesies langka atau dilindungi, tetapi itu tidak mengubah hakikat mereka sebagai makhluk hidup. Berbeda dengan satwa domestik yang hidupnya bergantung pada pemeliharaan oleh manusia, tempat terbaik bagi satwa liar adalah di alam liar – di hutan, di sungai, di laut – di tempat dimana mereka dapat tumbuh dan berkembang sesuai peran dan fungsinya dalam ekosistem. Misalnya saja kodok yang berperan menyeimbangkan populasi serangga yang menjadi makanannya dan berudu yang berperan menstabilkan kondisi lingkungan perairan.
Khusus mengenai kodok, populasinya di Indonesia kini kian terancam akibat perburuan demi memenuhi kebutuhan ekspor yang sebagian besar ditujukan ke negara-negara Eropa. Selain perburuan dan perdagangan daging kodok, penangkapan kodok dari alam untuk diperjualbelikan sebagai hewan peliharaan juga menjadi salah satu faktor ancaman bagi kelestarian kodok di alam karena secara tidak langsung berdampak pada penyebaran penyakit kulit Chytridiomycosis yang mematikan. Penyakit yang disebabkan oleh jamur chytrid (Batrachochytrium dendrobatidis) ini telah mengakibatkan setidaknya 100 spesies amfibi di dunia punah. Di Indonesia sendiri, seperti yang dilansir di Koran Tempo (6/12/2008) bahwa dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 2006 terhadap 13 spesies kodok di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, lima spesies diantaranya telah positif terserang jamur chytrid.
Betul bahwa perburuan dan perdagangan kodok di Indonesia belum dilarang secara hukum, dan betul bahwa mungkin saja niat kita membeli kodok adalah mulia dengan tujuan memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi, sebaik-baiknya tempat hidup bagi satwa liar adalah di alam. Seindah-indahnya satwa liar di rumah kita, akan lebih indah jika berada di habitat aslinya di alam. Semerdu-merdunya kicauan burung di dalam sangkar, akan lebih merdu jika dapat mendengar kicauan mereka di alam. Hal ini tak lain karena di alam satwa liar mampu memenuhi segala kebutuhan fisik dan psikologisnya dengan instinct dan naluri yang dimilikinya. Mereka dapat mencari makan dan minum sendiri, bermain dan bersenda gurau dengan teman-temannya, tumbuh dan berkembang menjalani hidup yang sehat, layak, dan sejahtera.
Oleh karena itu, kami senang sekaligus prihatin membaca berita bahwa Bapak senang memelihara kodok dan burung di rumah dinas. Kami senang karena kepedulian Bapak terhadap alam; kami paham alasan Bapak memelihara kodok adalah untuk menghadirkan suasana alam yang damai di tengah hiruk pikuknya kota Jakarta. Namun, kami juga sedih karena perbuatan itu seolah membenarkan penangkapan satwa liar dari alam untuk dipelihara di luar habitat aslinya.
Sebagai Presiden Terpilih, Bapak Jokowi menjadi orang nomor satu di negeri ini sekaligus panutan rakyat. Apa yang Bapak lakukan menjadi contoh bagi kami. Apa yang Bapak ucapkan menjadi pesan dan pedoman bagi kami. Oleh karena itu, izinkanlah kami mengkritisi apa yang sempat diberitakan di media terkait kegemaran Bapak memelihara kodok.
“Menurut Jokowi, ada sekitar 20 kodok di kolamnya. Ia berencana menambah binatang peliharaan itu agar suara yang dihasilkan semakin ramai. Ia telah mengutus staf rumah tangga demi mencari kodok serupa. "Nyuruh orang nyari, kita beli, masak saya cari sendiri," ujarnya.
Jokowi berencana menghadirkan suara alam tersebut di ruang terbuka hijau di Jakarta, antara lain di Waduk Pluit, Waduk Ria Rio, Waduk Tomang Barat, dan waduk-waduk lain. Ia mengatakan, waduk-waduk itu ditata untuk mengembalikan fungsinya sebagai tempat penampungan air sekaligus membentuk ekosistem yang sehat.”
Sumber:
http://megapolitan.kompas.com/read/2013/11/18/1535378/Pelihara.Kodok.Cara.Jokowi.Hilangkan.Penat
"Kodok itu kan carinya gampang. Masak kita nangkep terus dipindahin. Susah-susah amat. Cari lagi saja," ujar dia di sela waktu santainya di kediamannya Jalan Kutai Utara, Solo, Jawa Tengah, Minggu (27/7/2014).
Mungkin tidak akan ada yang protes soal perintah Bapak untuk menangkap kodok karena di Indonesia perbuatan tersebut tidak melanggar hukum. Tidak ada hukum yang mengatur soal penangkapan dan perdagangan kodok karena umumnya kodok bukan satwa dilindungi. Tidak seperti harimau dan orangutan yang menarik perhatian karena kelangkaannya, kodok berjumlah relatif lebih banyak dan tidak dipedulikan. Akan tetapi, kodok juga makhluk hidup. Menangkap kodok dari alam untuk dipelihara berarti memisahkannya dari habitat aslinya.
Kami berasumsi positif bahwa kodok-kodok tersebut dipindahkan untuk dipelihara dalam lingkungan yang baik di rumah dinas Bapak. Akan tetapi, meminta orang untuk menangkap dan memperjualbelikan kodok berarti sama saja menyetujui penangkapan dan jual-beli satwa liar dari alam. Terlepas dari statusnya sebagai satwa dilindungi atau tidak dilindungi, hal tersebut mengirim pesan yang keliru kepada masyarakat bahwa “untuk menyayangi satwa kita boleh menangkap satwa liar dari alam, memperjualbelikan, kemudian memeliharanya di dalam sangkar atau lingkungan buatan”. Padahal, sebaik-baiknya tempat tinggal bagi satwa liar adalah di habitat aslinya di alam. Jika kita betul-betul menyayangi satwa tersebut, maka hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah memberinya kesempatan untuk hidup bebas di alam dan menjaga habitatnya agar tetap lestari.
Oleh karena itu, kami juga ingin menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Bapak Jokowi atas keberhasilan menata kembali Waduk Pluit dan beberapa waduk lainnya di Jakarta. Mudah-mudahan waduk-waduk tersebut dapat kembali menjadi ekosistem yang sehat di masa yang akan datang. Terkait rencana Bapak untuk menghadirkan kodok di waduk-waduk tersebut, kami ingin mengingatkan bahwa melepasliarkan satwa di alam adalah perbuatan yang mulia, namun tidaklah mudah. Banyak hal yang harus diperhatikan sebelum kita melepasliarkan dan mereintroduksi satwa ke suatu habitat baru. Selain memastikan ketersediaan makanan dan daya dukung wilayah itu sendiri, kita juga harus memastikan bahwa spesies yang akan direintroduksi tidak membawa penyakit menular dan tidak berpotensi menjadi spesies invasif (invasive species) di wilayah tersebut yang malah dapat menimbulkan masalah lain pada ekosistem barunya. Atau sebaliknya, jika ekosistem yang baru belum cukup sehat, maka bukan mustahil kodok-kodok yang didatangkan akan menderita sakit dan cacat karena kodok adalah salah satu hewan yang sangat sensitif terhadap lingkungannya.
Bersamaan dengan surel ini, kami sampaikan tautan film dokumenter yang berjudul “Frogs: The Thin Green Line” (2009). Film yang disiarkan oleh jaringan televisi PBS di Amerika Serikat tersebut menceritakan tentang ancaman kepunahan yang dihadapi kelompok amfibi di dunia ini. Berikut tautan lainnya untuk film tersebut yang dapat diakses melalui youtube. Mudah-mudahan berkenan untuk diunduh dan disimak disela-sela kesibukan Bapak.
Banyak hal kecil sebetulnya yang bisa kita lakukan untuk menyayangi kodok, burung, dan satwa liar lainnya. Diantaranya adalah dengan menjaga kelestarian habitat aslinya dan tidak memperjualbelikannya. Dengan tidak membeli satwa liar hasil tangkapan dari alam, berarti kita turut menyelamatkan satwa dari ancaman kepunahan dan menjaga keanekaragaman hayati Indonesia.
Apabila ada hal lain yang bisa kami bantu terkait perlindungan dan kesejahteraan satwa, kami siap untuk melayani dengan senang hati. Atas perhatian dan kerjasama Bapak, kami ucapkan terimakasih.
Hormat kami,
Kinanti Kusumawardani
Direktur Eksekutif
Indonesian Society for Animal Welfare (ISAW)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H