Mohon tunggu...
Isar Dasuki Tasim
Isar Dasuki Tasim Mohon Tunggu... Administrasi - Profil sudah sesuai dengan data.

Sebagai Guru SMA yang bertugas sejak tahun 1989 di Teluknaga Tangerang. "berbagi semoga bermanfaat"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Meredam Dendam pada Sejarah

30 September 2020   20:53 Diperbarui: 30 September 2020   22:05 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dendam, berkeinginan keras untuk membalas (kejahatan dan sebagainya). Kata dendam, satu kata yang bermakna luas dan tidak akan pernah ada ujungnya sampai dunia kiamat.

Iblis yang dihukum oleh Alloh SWT akan masuk neraka, minta diberi tangguh dan akan mengganggu manusia sampai ke neraka agar menemaninya, bagi manusia yang tidak beriman. Jadi kata dendam sangat berbahaya bagi umat manusia. 

Indonesia dengan dendam sejarah, diungkit dan ditimbulkan terus, sehingga masyarakat tidak menghilangkan sejarah. Kalimat yang terkenal di sampaikan oleh Ir. Soekarno dalam ungkapan “Jasmerah, Jangan sekali-kali melupakan sejarah”.

Apa yang terjadi saat ini dengan ditimbulkan kembali sejarah kelam G30S PKI, mulai terlihat paksi-paksi yang berani terang-terangan bersimpati pada PKI, yang konon katanya akan bangkit.


Dari pergolakan ini bukan hanya TNI yang menjadi ujung tombak dalam menghalau gerakan ini, namun masyarakat harus waspada. Entah siapa yang memulai keributan di negeri ini.

Tahun 1948 kerusuhan telah digagalkan, tahun 1965 muncul kembali bahkan lebih ganas karena didukung oleh kekuasaan dengan Nasakomnya. Karena mendapat perlindungan dari kekuasaan semakin nekad dan membunuh 7 Pahlawan Revolusi. Bahkan sebelumnya pesantren di Madiun menjadi sasaran pada waktu itu.

Semua itu menjadi dendam yang tidak akan berkesudahan, sampai kiamat menjelang. Mengerikan kalau ini terjadi terus dan terus terjadi, siapa yang akan mengalah, semua tidak mau mengalah.

Rekonsiliasi pernah ditawarkan, bahkan Pemerintah harus meminta maaf kepada korban dari pihak PKI. Pejabat negara pernah menyampaikan, “enak saja minta maaf, siapa yang duluan, kita yang bonyok disuruh minta maaf”.

Negeri ini tidak akan pernah maju dan berkembang bila terus melihat ke belakang. Melihat ke belakang bagus menurut ahli sejarah, sebagai pengalaman yang baik agar tidak terjadi kembali. Tetapi bila terus menerus dan menimbulkan paksi-paksi yang memprovokasi, agar rakyat lebih bersimpati ini juga tidak baik.

Saat ini sudah mulai, lambang-lambang palu arit beredar di tengah-tengah masyarakat. Bagi masyarakat yang masih berumur, 40 tahun ke bawah sudah tidak tahu peristiwa G30S PKI, mereka akan menganggap gambar biasa saja. Tetapi bagi pelaku yang mengalami, seperti putera-puteri pahlawan revolusi akan mengganggap ini semua merupakan pengkhianatan.

Bagi putra-puteri pelaku keganasan bahkan putera DN Aidit mengatakan, “dalamnya laut dapat diduga, tetapi PKI belum tentu mati”. Mereka tidak menampakan diri tetapi sudah ada di mana-mana.

Bagaimana tidak mendendam para mantan anggota PKI dan yang terlibat dalam pergerakan. Selama Orde Baru tidak diberi kesempatan untuk menjadi PNS, bahkan kehidupannya diawasi terus menerus.

Anggota TNI yang pernah memnyumbang apapun dalam pergerakan PKI dianggap mendukung PKI dan mengalami hukuman penjara dengan tidak disidangkan, inilah yang selalu diungkit. Banyak warga negara yang lari keluar negeri dan tidak bisa kembali ke Tanah Air.

Dibukanya keran demokrasi melalui reformasi dan runtuhnya Orde Baru memberikan angin segar bagi anak-anak anggota PKI, sebut saja Ribka Ciptaning yang bangga menjadi anak PKI bahkan terang-terangan dalam sebuah buku serta wawancara di salah satu media beliau mengatakan bahwa ada sekitar 15 juta termasuk anak dan cucunya.

Jumlah ini sangat potensial dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah melalui lembaga legislatif. Dan informasi ini telah disampaikan oleh Ustad Alfian Tanjung bahwa saat ini sudah ada kurang lebih 200 anggota legislatif yang berasal dari keluarga mantan anggota PKI.

Bila dipikir-pikir dendam ini tidak akan berakhir. Karena semua pihak merasa benar dan tidak mau disalahkan. Coba renungkan Letnan Jenderal TNI Purnawirawan Agus Wijoyo Kepala Lemhanas pernah menggagas acara Simposium Nasional, membedah Tragedi 1965 di Hotel Aryaduta, 18 April 2018.

Simposium ini diadakan guna menemukan penyelesaian Tragedi 1965. Tapi yang terjadi malah beliau yang dipersalahkan, sebagai pendukung PKI padahal orangtua beliau yang menjadi korban kebiadaban PKI. Maka oleh sebab itu dendam tidak akan pernah selesai bila masing-masing terus mempermasalahkan.

Dendam tidak akan selesai, sekali lagi tidak akan selesai. Oleh karena itu, mari berpikir kedepan menuju Indonesia yang lebih baik, lebih hebat dari kemajuan-kemajuan Ilmu Pengetahuan untuk kepentingan Bangsa dan Negara.

Beberapa narasi yang telah disampaikan melalui media televisi di atas membuat masyarakat jenuh dan berpikir kapan akan berakhir. Haruskah kita terprovokasi dengan semua tayangan dan narasi-narasi yang terus ditayangkan?

Haruskah pihak-pihak yang kalah juga terus-menerus menekan kekuasaan agar meminta maaf?

Semoga cepat berakhir walapun sangat sulit akan berakhir. Harus ada yang berlapang dada untuk islah. Aamiin. (IDT)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun