Mohon tunggu...
Isar Dasuki Tasim
Isar Dasuki Tasim Mohon Tunggu... Administrasi - Profil sudah sesuai dengan data.

Sebagai Guru SMA yang bertugas sejak tahun 1989 di Teluknaga Tangerang. "berbagi semoga bermanfaat"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Nenekku Meninggal

21 Juni 2020   12:51 Diperbarui: 21 Juni 2020   12:58 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ketika Nenek ku Meninggal

Kelas 1 SD tahun 1972, sudah tinggal di Asrama Batalyon Kavaleri 8 Tank, terdengar kabar bahwa Nenekku meninggal dunia melalui telegram dari Kodim Manna Bengkulu Selatan. 

Orang tua ku di berikan ijin cuti untuk pulang ke kampung menghadiri Ibundanya yang telah meninggal. Aku yang masih kelas 1 SD di ajak untuk ikut menemani Bapakku menuju Bengkulu. Berangkatlah aku menuju Jakarta dengan Bapakku, dari Cililitan menuju Tanjug Priuk. Perjalanan menuju Bengkulu tidak semudah seperti saat ini. 

Dari kota Jakarta sebelum menuju pelabuhan di bawa putar-putar kota Jakarta hingga waktu sore Kapal sudah bersandar di Pelabuhan Tangjung Priuk. Pelabuhan Merak belum ada saat itu. Dari Tanjung Priuk menuju Pelabuhan Panjang di Lampung. Turunlah di Pelabuahan Panjang yang sudah tidak digunakan, saat ini untuk pelabuhan untuk Kawasan  peti kemas.

Dari Pelabuhan Panjang, melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kereta Api menuju Stasiun Lubuk Linggau. Dari dalam kereta api aku bulak balik berjalan menuju wc, karena tidak hati-hati jempol tangan kiriku terjepit pintu wc dan langsung menghitam, sakit rasanya, karena salah sendiri jadi tidak menangis dan di tahan rasa sakitnnya. 

Perjalanan menuju Bengkulu mengalami beberapa malam untuk bisa sampai di kampung halaman orang tua ku. Perjalanan harus menyeberang sungai yang belum ada jembatannya, mobil, sepeda semua di seberangkan melalui jembatan penyeberangan yang di Tarik oleh beberapa orang agar sampai di seberang.

Bermalam di Lubuk Linggau dan besoknya melanjutkan perjalanan melalui Muarainim Lahat dan sampailah di Bengkulu Selatan Kota Manna sore harinya. Sangatlah melelahkan karena harus berhenti dan melanjutkan perjalanan. 

Di kota Manna menginap semalam untuk melanjutkan perjalanan esok harinya. Dirumah saudara aku di jamu dan di potongkan ayam. 

Kendaraan menuju kampung halaman tidak ada, akhirnya Bapakku dan aku naik sepeda ontel menuju Kedurang. Aku duduk di belakang, dan Bapakku mengayuh sepedah sepanjang 40 km, untuk sampai di kampung halaman, dan beberapa kali istirahat. Sepeda di peroleh dari saudara yang ada di Kota Manna, entah di beli atau di pinjamkan yang jelas sepeda itu sampai di kampung halaman.

Perjalanan dengan sepeda membuat ku ngantuk karena tertiup angin sepeda yang menghembus, sesekali di tegur oleh Bapakku. Aku tidak tau bagai mana perasaan Bapakku ketika itu. Aku masih kecil, kelas satu SD sementara Ibu Orang tuaku yang paling di sayangi meninggal dunia dan harus menempuh perjalanan sampai beberapa malam. 

Perjalanan dari Kota Manna ke Kedurang jalannyanya belum sebaik saat ini, jalannya masih berbatuan dan lebih sering digunakan untuk pelajan kaki dan gerobak yang di Tarik oleh Sapi atau Kerbau. Kiri kanan perkampunagn di Kedurang masih tinggi-tinggi rumahnya, masih takut bila ada harimau masuk kampung. Saat ini perumahan di Kedurang sudah modern seperti perumahan di perkotaan, masih ada rumah panggung namun hanya beberapa lagi.

Sepanjang perjalanan dari jembatan Kedurang (dahulu belum ada), memandang kekiri dan kekanan sangat indah sungai besar masih mengalir dan jernih, beberapa kampung terlewati dan sampailah di Desa Tanjung Alam tempat Kampung halaman Bapakku, dari kejauhan sudah di teriaki oleh adik kandungnya sambil menangis menjerit-jerit, sementara aku yang di belakang lansung di gendong dan di ciuminya. Masih tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. 

Bapakku langsung naik ke atas rumah, karena masih rumah panggung. Cerita-cerita dan aku sudah bermain dengan saudara sebaya. Bapak ku tidak bisa menutupi kesedihannya, perjalanan yang Panjang untuk sampai ke kampung halamaman di dapati orang tua beliau sudah disemayamkan di pekuburan belakang, seberang sungai kecil. 

Ingin rasanya menggali kembali kurburan itu dan melihat jasadnya, namun saudara yang lain melarang dan mengiklaskan Ibunda tercintanya. Beberapa hari di kampung halaman tidak banyak yang dilakukan, hanya melihat sawah, berjalan ke kebun cenkeh, saat itu cengkeh menjadi andalan orang kampung selain kopi.

Karena seorang prajurit dan terikat dengan surat cuti maka perjalanan sesuai dengan waktu yang telah di rencanakan. Namun selama di dusun ada cerita yang sangat mengerikan bagi diriku.aku Bersama saudara sepupuku sebut saja Riskantoso usianya tidak begitu jauh mungkin lebih tua dirinya di bandingkan dengan ku. Riskantoso sudah berpengalaman hidup di kampung sementara aku masih senang-senangnya bermain tidak tahu bahaya.

Rombongan orang tua ku mengajak untuk menjala ikan di sungai, berangkatlah beberapa orang untuk menjala ikan termasuk Aku dan Riskantoso ikut dari belakang dengan beberapa anak yang sebaya. Menjala ikan di kampung ternyata harus kompak, dari beberapa orang memenggang jaring lalu  menyelam, kemudian di angkat ternyata beberapa ikan yang berukuran sedang sampai besar terjaring. Bergitulah terus dilakukana sampai beberapa kali dan berpindah ketempt lain yang lebih dalam. 

Nah ini lah yang disebut mengerikan, pernakah tau para pembaca tentang tengkala, Tengkala adalah perangkap ikan yang di pasang di sungai, yang di susun dengan bambu, berbentuk hurup v dengan ujungnya merupakan perangkap ikan. Jika ikan sudah masuk kesitu tidak bisa keluar lagi, apa lagi bila anak kecil yang masuk kesitu sudah pasti tidak bisa keluar lagi, bila tidak di keluarkan oleh pemiliknya.

Aku yag dari kota datang kekampung mengikuti orang tua untuk mengahadiri pemakaman orang tuanya, namum karena perjalanan berhari-hari dan tidak dapat menyaksikan pemakaman. Ikut dalam pencariakn ikan di sungai yang cukup deras mengalir. Searah dengan ari mengalir aku masih sambil berenang di bimbing oleh Riskantoso menuju kearah tengkala itu, ternyata arah air yang masuk ke tengkala sangat deras dan aku tidak bisa mengendalikan diri. 

Tanganku menggapai bambu yang ada di atas tetapi tidak terpegang karena sangat derasnya aliran sungai itu. Namun nasib masih bisa di tolong. Diujung tengkala masih ada Waan (kaka dari orang tuaku) yang sedang memperbaiki tengkala dan melihat diriku sambil tangan keatas, dan seketika itu tangan ku di gapainya dan selamatlah aku dari bahaya tengkala yang bisa mematikan. Pengalaman di kampung yang tidak bisa di lupakan sampai saat ini menjadi bahan cerita. Entah bagai mana dengan Riskantoso masih meningatnya atau sudah lupa.

Beikutinya perjalanan kembali ke Jawa diantar oleh gerobak, karena kendaraan saat iru masih belum ada, untuk berjalan kaki ke Kota Manna tidak mungkin karena Aku masih kecil. Maka di buatlah Gerobak yang di tarik oleh Sapi. Kakak Bapakku yang mempersiapkannya. Beliau sambil membawa beras dan rempah-rempah yang siap di jual di Pasar Manna. 

Dalam perjalanan pulang ke Jawa tidak banyak yang di ingat, karena lebih banyak tidur dalam perjalanan. Sampailah di Asrama, ternyata aku makin galak dengan teman-teman sebaya di Asrama Batalyon Kavaleri 8 Tank. Ketika di tanya oleh gurunya "sar, kapan pulang dari kampung" aku menjawab "ga, ga kapan" maklum belum ngerti bahasa Indonesia yang baik dan benar, dan baru saja pindah dari Cicadas Ke Asrama jadi belum cukup perbendaharaan katanya.

Itulah perjalanan ketika Nanekku Meninggal dunia seperti tidak ada peristiwa yang istimewa, maklum masih anak-anak, belum mengerti. (IDT).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun