Mohon tunggu...
Isa Multazam Noor
Isa Multazam Noor Mohon Tunggu... Dokter - PsycTelston

Psikiater anak di Instalasi Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja RSJ Dr. Soeharto Heerdjan Grogol Jakarta Barat Kepala Instalasi Diklat Litbang RSJ Dr. Soeharto Heerdjan Grogol Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

"Cabin Fever Syndrome" sebagai Dampak Psikologis dari Karantina di Masa Pandemi Covid-19

3 Mei 2020   11:07 Diperbarui: 3 Mei 2020   11:07 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Karantina adalah  pemisahan dan pembatasan pergerakan orang yang berpotensi terkena penyakit menular untuk memastikan apabila mereka menjadi tidak sehat, sehingga mengurangi risiko mereka untuk menulari orang lain. 

Studi meta analisis tahun 2020 menunjukkan bahwa pemberlakuan karantina dalam situasi pandemi wabah penyakit menular dapat menimbulkan dampak psikologis sebesar 7-14% pada populasi di masyarakat. Dampak psikologis yang terjadi dikenal dengan istilah "Cabin Fever Syndrome" dalam beberapa literatur psikologis.

Cabin Fever Syndrome atau Sindrom Demam Kabin adalah sekumpulan gejala psikologis yang timbul pada individu dalam periode waktu selama karantina di dalam rumah akibat kondisi ekstrim seperti cuaca buruk. Istilah ini dahulu digunakan untuk kondisi penduduk di Amerika bagian Utara yang harus tetap berada di rumah akibat musim salju yang dingin dan berkepanjangan.

Cabin Fever Syndrome banyak didominasi oleh gejala perubahan mood yang berlangsung lama. Dalam Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di Amerika Serikat atau DSM 5, Cabin Fever Syndrome memiliki banyak kemiripan tanda dan gejala dengan episode gangguan mood depresi dengan pola musiman.                    

Pemberlakuan karantina di masa pandemi Covid 19 saat ini dapat menjadi trigger (pencetus) dari timbulnya Cabin Fever Syndrome ini pada individu yang terdampak. 

Cabin Fever Syndrome tentu berbeda dengan konotasi demam yang banyak kita kenal dalam penyakit "Demam Berdarah Bengue," karena yang dijumpai pada individu ini bukan keluhan seperti peningkatan suhu melainkan perubahan suasana perasaan (mood) akibat stress psikologis.  

Sumber stress dari Cabin Fever Syndrome diantaranya adalah: durasi karantina yang lebih lama, ketakutan akan infeksi, kontak dengan pasien yang terinfeksi dalam situasi kerja, pembatasan gerak, frustrasi dan kebosanan, persediaan kebutuhan dasar yang tidak memadai, informasi yang tidak memadai, kerugian finansial, dan stigma sosial. 

Salah satu studi kualitatif bahkan melaporkan efek jangka panjang seperti: mencuci tangan berulang, menghindari keramaian, dan penundaan untuk kembali beraktivitas normal. Faktor risiko seperti halnya ciri kepribadian seperti karakter tipe A, ekstrovert dan introvert tentu perlu menjadi perhatian pula.

Gejala psikologis umum yang dijumpai pada Cabin Fever Syndrome, diantaranya: kecemasan, mudah marah, rasa tertekan dan terjebak di dalam rumah, penurunan mood, sulit tidur, ketidakpuasan berada di rumah, kegelisahan, menghindari orang lain, kecemasan saat bertemu pasien yang demam, sulit konsentrasi, lelah secara emosional, penyalahgunaan alkohol, kinerja buruk, keengganan bekerja dan bahkan sampai mempertimbangkan untuk pengunduran diri.

Cabin Fever Syndrome merupakan salah satu masalah kesehatan jiwa yang perlu mendapatkan perhatian di masa pandemi covid 19. Upaya yang dapat dilakukan dalam meminimalisir keadaan tersebut diantaranya: 

(1) memberikan edukasi yang bersifat jelas dan informatif, misalnya: memberitahukan tentang apa yang terjadi dan mengapa, dan menjelaskan berapa lama hal itu akan berlanjut, 

(2) menjaga agar durasi karantina sesingkat mungkin, 

(3) menggugah masyarakat untuk dapat menyaring mana informasi yang benar dan dapat digunakan terkait covid 19, 

(4) memperhatikan ketersediaan kebutuhan pokok dan hidup dasar yang memadai, 

(5) mengurangi kebosanan dengan melakukan aktivitas kreatif dan bermanfaat atau hobi yang sebelumnya belum sempat dilakukan (membaca buku dan menonton film), 

(6)  meningkatkan komunikasi melalui bantuan telepon atau perangkat digital dengan keluarga besar dan teman, 

(7) memberikan perhatian khusus kepada tenaga kesehatan yang berjuang di garda depan penanganan wabah, dan 

(8) altruisme atau kesuka-relaan dari masyarakat untuk tetap patuhi aturan untuk #stay at home dan bukan karena paksaan.

Sebagai simpulan, kesehatan jiwa merupakan salah satu elemen penting yang tidak dapat diabaikan dalam formulasi penanganan terhadap masyarakat yang terdampak pandemi covid 19. Dengan peningkatan ketahanan mental individu tentu akan memperbaiki daya tahan tubuh (imunitas) dalam melawan wabah penyakit menular ini. Sebagaimana slogan latin "Men sana in corpore sano" yaitu di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.   

Sumber Pustaka:

  • Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fifth Edition. DSM 5. 2013 American Psychiatric Association.
  • Brooks SK; Webster RK; Smith LE; Woodland L; Wessely S; Greenberg N. The psychological impact of quarantine and how to reduce it: rapid review of the evidence. Rapid Review. Volume 395, Issue 10227, P912-920, March 14, 2020.
  • Noor IM. Respons Psikologis dari Individu Terkait Lockdown Covid 19. Flyer Edukasi Wabah Covid 19. Instalasi Diklat & Litbang RSJ Dr Soeharto Heerdjan Grogol Jakarta 2020.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun