Kekhawatiran masyarakan mengenai persediaan sumber daya alam yang ada di dunia mulai muncul di Eropa saat masa revolusi industri. Jumlah penduduk yang terus meningkat, pembangunan industri abad ke-19 serta pencemaran dan eksploitasi lingkungan menjadi perhatian masyarakat.Â
Dampak dari kekhawatiran itu muncul konsep Sustainable Development (Pembangunan Berkelanjutan) yang diperkenalkan pada konferensi pertama PBB dalam bidang Lingkungan Hidup di Stocklom pada tahun 1972. Â Literatur mengenai pembangunan berkelanjutan meluas pada tahun 1980-an ketika International Union for the Conservation of Nature Influential World Conservation Strategy mengajukan konsep pembangunan yang mempertimbangkan fungsi ekosistem dan keanekaragaman hayati. Pada akhirnya pada Laporan Komisi Brundtland tahun 1987, istilah pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan."
      Perkembangan dari pembangunan berkelanjutan ini menumbuhkan ide untuk membuat neraca yang tidak hanya mengukur aspek ekonomi namun juga mengukur aspek lingkungan yang merupakan dampak dari kegiatan ekonomi yang terjadi. Tahun 1993 United Nation Statistics Division (UNSD) mengenalkan National Accounting : Integrated Environmental and Economic Accounting. Neraca ini menggabungkan aspek lingkungan dan ekonomi dalam neraca.
      Indonesia sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah juga memperhatikan pembangunan berkelanjutan ditandai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 33 ayat 4 yang menyatakan "Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional." Sebagai negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Indonesia mengadopsi neraca yang dikeluarkan oleh PBB dalam hal pembangunan berkelanjutan. Pada artikel ini akan dibahas sejauh mana Indonesia menerapkan neraca lingkungan dan juga mengulas hasil yang didapatkan melalui neraca lingkungan yang dikeluarkan ini.
      Indonesia pada dekade ini, penyumbang PDB terbesar adalah sektor pertambangan. Hal ini tentu akan mengkhawatirkan karena sektor ini memiliki dampak buruk kepada lingkungan. Perkebunan terutama perkebunan sawit yang menjadi komoditas unggulan Indonesia juga memiliki dampak buruk kepada lingkungan. Pembukaan hutan adalah salah satu contoh kerusakan lingkungan yang harus dihadapi Indonesia yang menyebabkan berbagai masalah lainnya seperti banjir, polusi udara, dan hilangnya habitat satwa liar.
      Atas dasar hal tersebut, penyusunan neraca lingkungan menjadi sangat penting dilakukan di Indonesia. Badan Pusat Statistik sebagai lembaga negara yang menyediakan statistik dasar, sudah memulai membuat Sistem Terintegerasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi mulai tahun 1990. Seiring dengan perkembangan neraca lingkungan yang dilakukan PBB pada tahun 1993, 2003, dan 2012, BPS juga melakukan pembenahan neraca lingkungan yang mengacu pada handbook yang dikeluarkan oleh PBB.
System of Environmental Economic Accounting (SEEA) 2012 memiliki 3 bagian yaitu SEEA Central Framework yang mengadopsi Komisi Statistik PBB sebagai standar internasional pertama untuk neraca ekonomi-lingkungan, SEEA Experimental Ecosystem Accounting yang menyediakan informasi mengenai neraca ekosistem, terakhir adalah SEEA Applications and Extensions berisi informasi mengenai fungsi dari SEEA untuk pengambilan keputusan dan juga penelitian. BPS menurunkan SEEA menjadi 4 neraca yaitu neraca arus fisik, neraca fungsional untuk transaksi lingkungan, neraca aset dalam satuan fisik dan moneter, serta neraca ekosistem.
Neraca arus fisik meliputi aliran input alam dari lingkungan ke dalam perekonomian, aliran produk di dalam perekonomian dan aliran sisaan yang dihasilkan dari kegiatan ekonomi. Pada neraca ini air yang mengalir dalam proses produksi juga masuk dalam neraca. Limbah yang mengalir ke lingkungan atas hasil dari produksi juga dihitung dalam neraca ini.
Neraca fungsional digunakan untuk mencatat transaksi yang menyangkut lingkungan. Aktivitas ini didefinisikan sebagai aktivitas yang mengurangi atau menghilangkan tekanan terhadap lingkungan dan bertujuan untuk menjadikan penggunakan sumberdaya alam lebih efisien. Sebagai contoh kegiatan reklamasi lingkungan, investasi teknologi ramah lingkungan, dan aktivitas perlindungan lingkungan.
Neraca aset menyajikan informasi mengenai ketersediaan sumberdaya alam untuk digunakan sebagai penilaian aspek keberlanjutan. Sumber daya yang tidak dapat diperbarui kuantitas deplisinya sama dengan kuantitas sumberdaya yang diesktraksi. Sedangkan sumber daya yang dapat diberbarui kuantitas deplisinya memperhitungkan populasi sumberdaya, besarnya, tingkat pertumbuhan dan tingkat keberlanjutan yang terkait.
Neraca ekosistem menyajikan informasi mengenai ekosistem. Informasi dalam neraca ini meliputi tumbuhan, hewan, mikro-organisme, dan lingkungan. Hal yang dicatat adalah perubahan kapasitasnya untuk beroperasi sebagai unit fungsional serta menyajikan informasi mengenai manfaat ekosistem bagi manusia.