Pasca tsunami Aceh menimbulkan berbagai permasalahan dan memerlukan masa pemulihan yang lama. Tsunami Aceh tahun 2004 menewaskan sekitar 250.000 orang. Salah satu bencana alam paling mematikan di abad modern terjadi di Aceh. Pada tanggal 26 Desember 2004 pukul 07:59 WIB terjadi gempa bumi berkekuatan 9,1-9,3 MW yang mencapai titik terjauh  pantai timur benua Afrika.
Gelombang pertama datang pada pukul 08:42 WIB (44 menit setelah gempa). Gelombang kedua tiba pada pukul 08:53 WIB (lebih besar dari gelombang pertama). Gelombang ketiga terjadi pada pukul 09:15 WIB (gelombang terbesar). Situs Antara memberitakan, Daryono selaku koordinator gempa dan mitigasi BMKG menjelaskan, gempa  Aceh 2004 tidak terjadi secara tiba-tiba. Namun pada tanggal 2 November 2002 terjadi gempa susulan berkekuatan 7,0 di wilayah administrasi Simeulue. Pasca gempa Simeulue tahun 2002, serangkaian gempa kecil terus berlanjut. Rentetan gempa berturut-turut ini memuncak pada gempa  Aceh  berkekuatan 9,1-9,3 Mw pada 24 Desember 2004.Â
Adapun Sektor yang  Terdampak akibat dari Tsunami aceh meliputi;
1. Bidang sosial dan budaya Â
Dampak gempa dan tsunami sangat berdampak pada sektor sosial. Penilaian kerusakan pada sektor sosial dan budaya meliputi perumahan, pendidikan dan layanan kesehatan.  Kerusakan rumah merupakan kerusakan yang paling parah akibat  tsunami dibandingkan sektor lainnya. Dampak kerugiannya sebesar Rp. 13,4 triliun yang merupakan 32 persen dari total kerusakan akibat bencana tersebut.  Sektor pendidikan kehilangan sekitar 45.000 siswa dan 1.870 guru. Sekitar 1.962 sekolah rusak atau hancur dan diperkirakan menimbulkan kerugian sebesar Rp 1.041 triliun. Kemudian sektor kesehatan juga terkena dampak rusaknya 5 rumah sakit dan 11 puskesmas.  Terkait sektor keagamaan, data Survei Desa (Podes) menunjukkan  sekitar 2.000 masjid, 5.500 meunasah, 2.150 musala, dan 91 tempat ibadah  terdampak. Menurut Podes dan Mendagri, pembangunan kembali tempat ibadah di Aceh dan Sumatera akan menelan biaya sekitar Rp776 juta. Â
2. Sektor infrastruktur Â
Dampak  tsunami Aceh terhadap sektor infrastruktur ditandai oleh beberapa aspek. Kerugian dan kerusakan sebesar Rp. Kerugian transportasi (61% dari total dampak) dan irigasi, pengendalian banjir dan perlindungan pantai (25%) menguasai 8,2 triliun, dimana 7,7% di antaranya adalah energi, 3,4% air dan sanitasi, dan 2,5% komunikasi.  Kerusakan infrastruktur transportasi juga didominasi oleh angkutan jalan dan  darat dengan kerugian sebesar Rp. 3,4 triliun. Infrastruktur yang terkena dampak bencana di wilayah pesisir mencakup sekitar 316 kilometer atau 10% jaringan jalan nasional dan provinsi, 1.900 kilometer jalan lokal, lebih dari 400 jembatan dan 30.000 kendaraan.  Sektor energi juga mengalami kerugian sebesar Rp631 miliar yang sebagian besar terjadi pada jaringan distribusi, pasokan listrik, dan bahan bakar minyak. Akibatnya gudang rusak dan sejumlah tumpahan bahan bakar menimbulkan kerugian total  Rp 131 miliar.Â
3. Sektor Ekonomi
Di sektor ekonomi, perkiraan kerugian yang terjadi di sektor pertanian dan irigasi mencapai Rp 2,2 triliun. Sebanyak 320.000 orang kehilangan pekerjaan karena rusaknya area tanaman pangan dan sawah. Perhitungan ini berdasarkan perkiraan Kementerian Pertanian pada area sawah seluas 21.000 ha.
Di sektor peternakan, berdasarkan data BPS untuk populasi ternak dan kerusakan lahan pertanian, diperkirakan 23.300 hewan ruminansia besar, 21.000 ruminansia kecil dan 2,5 juta unggas hilang. Kerugian diperkirakan mencapai Rp 126 miliar.
Sementara itu di sektor enterprises, dampak yang terjadi tidak sebesar sektor lainnya. Secara keseluruhan, kerusakan di sektor ini dinilai sekitar Rp 44 miliar, sementara kerugian dari pengurangan produksi diperkirakan mencapai Rp 169 miliar.
4. Psikologis Â
Nah, ini dampaknya sangat nyata di masyarakat. Warga kehilangan rumah, teman dan  keluarga, serta  seluruh lingkungan dan komunitas mereka.  Di sisi lain, interaksi sosial dan ekonomi juga hilang. Penghidupan dan kualitas hidup  banyak masyarakat Aceh juga terkena dampaknya. Bencana besar ini menghancurkan modal sosial dan kepercayaan diri para korban dalam sekejap.Â
Pusat Studi Tsunami yang di Miliki Aceh
Aceh merupakan daerah yang sangat rentan terhadap bencana, salah satunya adalah gempa bumi yang dapat menimbulkan gelombang tinggi.Â
Ada banyak temuan ilmiah dan ilmiah yang mengkonfirmasi terulangnya bencana gelombang tinggi tersebut, namun tempat dan waktu menjadi misteri yang tidak dapat dipecahkan. Tempat kita tidak bisa terhindar dari bencana lain seperti banjir, tanah longsor, dan lain-lain. Â Â
Meningkatnya kejadian bencana  akibat perubahan kondisi alam dan aktivitas manusia dalam beberapa tahun terakhir telah melahirkan banyak gagasan untuk menyelamatkan nyawa manusia dari dampak  bencana.  Â
Melihat realitas masyarakat, mayoritas penduduk kita hanya mengenal bencana  alam, padahal bencana tidak hanya ditujukan pada fenomena alam saja.Â
Suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan manusia, baik karena faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan fisik, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Â Â
Undang-Undang Penanggulangan Bencana No. 24 Tahun 2007 mendefinisikan mitigasi sebagai serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kapasitas dalam menanggapi risiko bencana.  Kalau bicara soal mitigasi dan keterkaitannya dengan bencana, pola pikir masyarakat masih  mainstream karena selalu memikirkan bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, tanah longsor, dan lain-lain. Â
Konsep mitigasi lahir dan dipopulerkan di Indonesia setelah  bencana besar  melanda tanah air. Sejumlah lembaga non-pemerintah telah dibentuk untuk menangani situasi bencana sebelum, pada saat dan setelah bencana. Salah satunya adalah Pusat Penelitian Mitigasi Tsunami dan Bencana (TDMRC) Universitas Syiah Kuala.Â
Banyak orang yang masih belum mengetahui bahwa  Aceh saat ini menjadi rumah bagi pusat penelitian bencana.  Pusat Penelitian Mitigasi Tsunami dan  Bencana  Universitas Syiah Kuala (TDMRC-Pusat Penelitian Mitigasi Tsunamo dan Bencana) merupakan lembaga penelitian yang didirikan pada tahun 2006.Â
Tujuan keberadaan TDMRC adalah untuk meningkatkan sumber daya penelitian kebencanaan yang berkualitas, untuk mendukung pemerintah dalam pengambilan kebijakan. , mengumpulkan dan memberikan informasi terbaik, mempercepat  pengumpulan informasi relevan terkait dampak  bencana. Â
Selain itu, TDMRC juga mendorong peningkatan ketahanan bencana dan berkolaborasi dengan ilmuwan dan lembaga penelitian lainnya dalam penelitian bencana. TDMRC sebagai salah satu pemimpin dalam pelaksanaan dan pengembangan penelitian  kebencanaan di provinsi Aceh dirancang untuk mampu berkembang menjadi lembaga penelitian yang andal dan kuat yang mampu merumuskan dan melaksanakan kebijakan penelitian dan pengembangan untuk menghadapi berbagai bencana.Â
permasalahan di tingkat regional, nasional, dan internasional, Menurut Wakil Presiden yang juga  salah satu peneliti di TDMRC, Dr.  Syamsidik "Sampai saat ini TDMRC telah banyak menjalin hubungan kerja sama yang baik dengan banyak lembaga atau organisasi baik  lokal, nasional maupun internasional."  Ia juga berharap dengan menjadi seorang ilmuwan dapat menghasilkan penelitian yang benar-benar dapat dimanfaatkan khususnya dalam penanggulangan bencana.  Sementara itu, dampak bencana terhadap infrastruktur transportasi dapat dimitigasi dengan melakukan koordinasi dengan institusi terkait.  Â
Zona tujuan pergerakan penduduk pada saat bencana adalah kawasan pegunungan, sebagian besar penduduk bergerak dengan berjalan kaki sehingga perlu pengembangan jalan trotoar bagi pejalan kaki. Sebagian penduduk bergerak menggunakan kendaraan sehingga perlu pelebaran jalan dan radius persimpangan jalan, khususnya pada ruas jalan yang menghubungkan ke zona aman. Pada kawasan pusat kota dan permukiman pesisir pantai bisa dibuat jalan alternatif untuk mengurangi arus lalulintas yang melalui jalan-jalan di pusat kota. Â Â
Peningkatan kejadian bencana alam selama dua dasawarsa terakhir melahirkan banyak gagasan mengenai pengurangan dampak risiko kebencanaan baik dari sisi sosial maupun teknis, termasuk bidang evakuasi dan transportasi logistik. Perkembangan kaidah keilmuan dalam bidang pemodelan transportasi evakuasi bergantung pada tipikal bencana alam serta pergerakan lalulintas saat proses evakuasi. Â Proses evakuasi merupakan salah satu kajian strategis dalam perencanaan transportasi dan pemodelan lalu lintas. Beberapa metode telah dikembangkan menjadi satu konsep yang dapat digunakan dalam mengoptimalkan evakuasi, termasuk mengenai pemilihan rute perjalanan, pemilihan moda, serta kesiapan infrastruktur jalan untuk memberikan pelayanan pada pelaku evakuasi agar dapat selamat sampai ke tujuan. (Dewi)
PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PASCA TSUNAMI DI ACEH Â
Pemerintah membangun bendungan pelindung pantai (brigwater) melalui Dinas Sumber Daya Air Provinsi NAD. Tujuan dibangunnya tanggul ini adalah untuk mengatasi permasalahan kerusakan air. Daya rusak perairan pantai menyebabkan erosi pantai atau dampak tsunami. ujar Manajer Pelayanan SDA Provinsi NAD Eko Purwadi Syeh saat berkunjung ke Pantai  Kuala (27/12).  Pada tahun 2005 dan 2006, NAD berencana membangun perlindungan pantai sepanjang 6,5 km. Sejauh ini pengerjaan sepanjang 300 meter telah dilakukan dengan  dana APBN dan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR). Insya Allah  akhir April 2006 selesai, jelas Eko. Untuk bahan baku khususnya  pembangunan tanggul pertahanan pantai dapat diperoleh di kawasan Ujung Bate yang letaknya kurang lebih 30 km dari lokasi pembangunan tanggul pantai.  Eko juga mengatakan, tujuan pembangunan lainnya  adalah membangun tanggul air laut atau  pasang surut yang memisahkan kolam dan pemukiman warga sepanjang 15,5 kilometer. Selain itu, empat sungai yaitu Sungai Krueng Neng, Sungai Krueng Doy, Sungai Krueng Aceh, dan Sungai Krueng Titi Panjang dibangun untuk pengendalian banjir. Saat ini, 2,8 km dari total kebutuhan sekitar 7 km baru selesai dikerjakan.  Total biaya  pembangunan pertahanan pantai atau tanggul air laut Aceh Besar, pembersihan tanggul air asin, dan pembersihan sungai membutuhkan kurang lebih Rp 90 miliar.
Memperbaiki Jalan Raya Banda Aceh-Meulaboh  Â
Jalan Meulaboh Banda Aceh  yang juga hancur akibat tsunami dibangun kembali. Untuk restorasi dan rekonstruksi jalan sepanjang 240 km ini, pemerintah AS mengalokasikan 245 juta USD melalui USAID. Saat ini pembangunannya baru dialihkan ke tahap I, sehingga pembangunan jalan antara Banda Aceh dan Lamno akan selesai tahun depan.  Pemerintah Jepang  juga menawarkan bantuan  pembangunan jalan  ruas Meulaboh  Calang sepanjang 122 km melalui JICS sebesar 2,651 miliar. Perencanaan awal pembangunan ruas jalan ini  dilakukan pada 16 Desember  dan diharapkan selesai pada pertengahan tahun 2006. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H