Mohon tunggu...
Isabelle Margo
Isabelle Margo Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - pelajar

pelajar

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kisah Sederhana Namun Penuh Makna dalam Film "Kalau Gak Ada Ramadhan"

24 Maret 2024   23:14 Diperbarui: 25 Maret 2024   03:29 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


  • Tanggal Rilis: 18 April 2021

  • Durasi: 65 menit

  • Sutradara: Umank Andy

  • Produser: Izharul Haq, Khaira Fitmi

  • Rumah Produksi: Size Entertainment, Bedasinema Pictures

  • Pemeran: Dallas Pratama, Muzakki Ramdhan, Arief Didu, Annette Edoarda, Damara Finch, Rendy Herpy, Nuyang Jaime, Aliza Kamila, Wisnu Aryan, Gusfari

  • Dirilis di: Studio D'Kandang Amazing Farm, Bioskop Online

“Kalau Gak Ada Ramadhan” bukanlah sebuah film yang menawarkan cerita dengan narasi besar maupun konflik yang epik, namun karya ini memiliki kekuatan dengan kesederhaan tema yang mengikat keseluruhan berbagai cerita pendek di dalam film. Film omnibus komedi yang disutradarai Umank Andy ini, pertama ditayangkan secara eksklusif di Studio D'Kandang Amazing Farm pada tanggal  18 April 2021, sebelum kemudian dirilis di situs Bioskop Online pada tahun 2024. Mengikuti beberapa kisah-kisah kecil mengenai keseharian warga yang sedang menyambut bulan suci umat Islam, bulan Ramadhan. Melalui kisah para karakter, penonton dapat mengintip dampak signifikan yang dibawa Ramadhan terhadap kehidupan sosial-budaya Indonesia.


Pada kisah pertama yang berjudul “Tertimpa Uzur”, penonton diperkenalkan kepada karakter Mursali, seorang kuli proyek beristri tiga yang sedang merasa kesulitan dengan tuntutan-tuntutan yang dibawa oleh bulan Ramadhan. Kita diperlihatkan kisah kesehariannya yang dipenuhi kekhawatiran finansial akan biaya persalianan istrinya, serta dilema dalam dirinya yang terkesan tak peduli dengan kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan. Kemudian, penonton dibawa ke kisah kedua berjudul “Ramadhan Pertama” tentang seorang janda bernama Kokom dan kedua anaknya, yang untuk pertama kalinya akan merayakan bulan Ramadhan setelah ditinggal oleh suaminya. Kisah hangat keluarga kecil ini, menceritakan rasa syukur sang penjual takjil akan berkah bulan Ramadhan yang telah memberinya keuntungan lebih untuk mencukupi kebutan keluarganya. 


Selanjutnya, kisah berjudul “Bacaan Qur'an untuk Ibu” menceritakan Hafis yang belajar membaca Al-Qur’an demi memenuhi harapan ibunya, ketika ia pulang cuti dari pekerjaannya di kota. Kisah keempat yang berjudul “Hilal” mengikuti kisah inspiratif Gaby yang merupakan seorang influencer non-muslim. Walau ia tidak merayakan Ramadhan secara langsung, Gaby tetap merasakan kesenangan dan berkah Ramadhan dengan berbagi kepada mereka yang membutuhkan. Film kemudia ditutup “Tertipu Waktu” tentang kisah Lidya dan Farhan yang sedang berkerja keras untuk dapat membawa uang lebih dan membahagiakan Ibunya saat kembali ke kampung. Konflik muncul ketika mereka sampai di kampung dan Lidya kehilangan tasnya yang berisi barang berharga dan uang yang sudah susah payah mereka kumpulkan, namun kisah ini berakhir dengan plot twist yang cukup membuat penonton mengelus dada. 


Film ini mengangkat tema utama yaitu budaya dan tradisi Ramadhan di kalangan masyarakat. Sebagai agama yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia, Islam dan tradisi Ramadhan tentu membawa dampak besar pada dimensi sosial-budaya kehidupan masyarakat. Mengutip Mashur Alhabsy, S.Pd, M.Pd., Ramadan adalah waktu bagi umat Muslim diminta untuk meningkatkan kepedulian sosial mereka terhadap sesama (Alhabsy, 2023). Hal ini tercerminkan dalam kisah-kisah dalam film yang menunjukan rasa solidaritas sosial tinggi antar karakter. Seperti Mursali yang dibantu temannya saat kakinya tertimpa besi dan istrinya yang sedang melahirkan, maupun kisah Gaby yang berbagi sedekah kepada orang-orang sekitar. 


Dalam aspek alur, secara keseluruhan film menggunakan alur maju atau progresif. Dikutip dari Universitas123.com, alur maju adalah alur yang menceritakan sebuah kejadian demi kejadian secara teratur dari awal hingga akhir cerita (Universitas123, 2021). Dapat dibuktikan dari setiap kisah yang memiliki kejadian sebab akibat antara peristiwa dari awal hingga akhir cerita.  Penokohan setiap karakter dalam film ini pun beragam, dengan watak karakter yang berbeda untuk setiap tokoh. Contohnya, karakter Hafis yang patuh pada orang tua, tergambar melalui aksi kasih sayang bagi ibunya. Lalu karakter Kokom yang penyayang, penuh rasa syukur, dan pekerja keras tergambar jelas pada kisah perjuangannya untuk menjual takjil demi keluarga dan rasa syukurnya saat adegan menangis dengan keluarganya.


Film ini padat dengan amanat, dengan setiap kisah yang bertujuan untuk menyampaikan pesan moralnya tersendiri. Melalui kisah keuda “Ramadhan Pertama”, penonton dapat mempelajari pentingnya kekeluargaan dan rasa syukur. Sedangkan melalui kisah “Tertipu Waktu”, penonton diingatkan untuk selalu sabar dalam menghadapi tantangan hidup dan untuk tidak pernah melupakan makna penting orang-orang di sekitar kita. Secara audio visual, film diisi dengan musik bertema Ramadhan yang sesuai dengan tema film. Sedangkan, latar cerita yakni berada di kota dam kampung dapat tergambar cukup jelas dan autentik melalui visual set film.


Menurut Ardianto dalam bukunya yang berjudul “Komunikasi Massa Suatu Penghantar”, dijelaskan bahwa karakteristik film terdapat 4 macam (Ardianto, 2004). Salah satu karakteristik tersebut adalah, visualisasi scene dalam film dibuat sedekat mungkin menyamai realitas peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Salam satu kelebihan dari “Kalau Gak Ada Ramadhan” terletak pada kemampuan film untuk memenuhi karakteristik tersebut. Film ini telah memilih dan menyampaikan tema realita Ramadhan di tengah masyarakat dengan sangat akurat dan realistis. Kisah-kisah yang terdapat dalam film semua dapat dijelaskan secara logis dan bisa dibayangkan dapat terjadi di kehidupan sehari-hari. 


Selain tema, visualisasi yang digunakan dalam film juga sudah berhasil mencerminkan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Latar tempat film yang mengambil settingkota dan kampung berhasil menyoroti kehidupan masyarakat Indonesia dengan detail yang kaya akan nuansa budaya lokal. Secara visual,  hal ini memperkaya pengalaman menonton, dengan membuat penonton dapat merasakan atmosfir dan keterikatan emosional dengan cerita yang disajikan. Film ini juga memiliki beberapa kekurangan yaitu, akting para aktor yang kurang meyakinkan. Hal ini sangat disayangkan, sebab penyampaian para aktor berpengaruh besar pada kenikmatan film. Terutama sebagai sebuah film komedi, banyak humor yang tidak berhasil tesampaikan oleh  para aktor seperti dalam adegan ketika Jaenab menginterupsi momen haru kelurga Kokom. 


Sedangkan, menurut Pratista, unsur sinematik merupakan aspek-aspek teknis dalam memproduksi sebuah film, yang terbagi menjadi empat elemen pokok (Pratista, 2017). Salah satunya yaitu, editing pada tahap produksi yang merupakan proses pemilihan serta penyambungan gambar-gambar yang telah diambil. Penyutingan film “Kalau Gak Ada Ramadhan” menjadi kekurangan besar film, dengan gaya editing yang terkesan amatir dan klise. Telihat pada pemilihan filter dan font yang kurang elegan, dan justru menggangu kenikmatan visual film. 


Sebagai film omnibus yang menggabungkan beberapa kisah terpisah menjadi satu kisah dengan tema tunggal, alur plot perlu diperhatikan untuk menjamin kualitas pengalaman menonton film. Namun, koneksi antar kisah terkesan insignifikan membuat kisah keseluruhan kehilangan makna. Tidak terdapat plot yang dapat menunjukan keberlanjutan jelas antar tiap kisah, selain koneksi kecil yaitu Mursali yang sempat membeli jualan takjil Kokom. Ditambah dengan kurangnya konflik atau plot yang dapat menarik perhatian penonton, membuat alur film menjadi membosankan.


Walaupun serat akan unsur agama Islam, “Kalau Gak Ada Ramadhan” dapat dinikmati oleh penonton dari segala kalangan dan latar belakang budaya. Namun, sebaiknya film ini ditonton oleh audiens yang sudah berumur diatas 13 tahun. Sebab, apabila kisah tidak dicerna dengan baik, ditakuti dapat menjadi contoh perilaku buruk seperti berkata kasar untuk anak-anak. Selain itu, film ini lebih cocok ditonton oleh penonton yang mencari hiburan sederhana saja. Jika penonton mencari film dengan makna mendalam atau kualitas penulisan yang tinggi, film ini masih belum bisa memenuhi hal tersebut. Sebagai akhir kata, saya memberikan penilaian keseluruhan 5/10 untuk film ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun