Ini suasana hati di tanggal 1 Juli 2021, hari ke-3 sejak test swab positif di 28 Juni. Dalam hitungan garis waktu covid, ini hari ke 7 atau 8 sejak bergejala. Menurut twet Faheem Younus, MD hari ke 5 -10 gejala akan memburuk. Fase yang bikin kami was-was sekaligus waspada.
Saya masih bisa merasionalkan kekuatiran. Tapi, Â ibunya di rumah sudah tidak enak makan. Mengurai komunikasi dengan anak dari kejauhan plus dua kali sehari menuntun ojek online ke tujuan, ujarnya serasa mules menanti kelahiran. Pfufh...
Dengan oximeter yang kami belikan di e-market kondisi anak bisa kami monitor saturasi oksigennya. Jika drop < 90 berarti anak dalam darurat. RS UI Depok kabar dari kontak tantenya, insya Allah bisa prepare. Yang lain-lain kami buta info. Apalagi semua media memberitakan fasilitas kesehatan di wilayah DKI Jakarta, Jabar membludak dibanjiri pasien covid.
Saturasi anak naik lagi di 97 dari semalam turun di 95-an. Alhamdulillah kisaran saturasi antara 94 - 97. Itu melegakan. Sejak kemarin malam anak sudah bisa tidur. Demam masih ada, nyeri masih dirasakan di sekujur tubuh. Â Saat ditelfon pun suara masih lemah diselingi batuk-batuk.
Kata anak, bahkan untuk makan nasi masih dirasa nyeri di gigi dan gusi kala mengunyah. Kami tidak kurang-kurang mengingatkan habiskan makanan yang disediakan, paksakan walau pahit. Anak berjuang, dimakan tapi hanya sebagian dan tidak pernah habis. Anak masih harus melawan puncak infeksi dalam 3 hari kedepan dengan kekuatan mental dan motivasi tinggi agar tubuh tangguh melawan badai sitoksin akibat infeksi virus, sekaligus virusnya terbasmi.Â
Anak lebih memilih energen hangat di pagi hari. Air panas melalui temannya kami selalu mohon disiapkan. Agar setiap saat selalu minum hangat. Sari kurma dan susu beruang juga kami berikan via tantenya di Pancoran, Jaksel. Sejak viral dan langka susu beruang kami alihkan dengan UHT. Lagi-lagi ojek online menjadi andalan.
Sekali dua kali kami ortu menawarkan diri untuk terbang datang ke anak, menemani dan melayani kebutuhan selama isoman. Bahkan saat terdengar nada anak enggan makan, kami sedikit mendesak akan terbang. Anak menolak.
"Tidak usah, aku kuat"
Umumnya ortu, menghadapi situasi seperti ini pasti sangat melankolis. Ada keinginan kuat untuk datang tetapi situasi memang tidak kondusif. Kerangka dasar alasan juga berbeda. Anak lebih bersandar pada logika rasional -walau dalam keadaan sakit, dan kami lebih memperturutkan emosi dan perasaan, yang justru sedang dalam keadaan sehat. Betapa uniknya ikatan batin anak dan ortu.
Kemarin, tanpa meminta pendapat anak, atas kekuatiran seorang Ibu, kami menelfon keluarga di Nganjuk. Alternatif solusinya dibawa keluar Depok, dirawat di rumah sanak keluarga. Rencana saya yang akan terbang dan merawat di sana. Tidak mungkin di rumah Kupang, NTT.
Di sini sedikit tarik ulur. Di Nganjuk ada Bapak Emak kami yang sudah sepuh dan selama ini anak-anaknya telah berusaha menjaga kesehatannya. Intinya dengan berbagai pertimbangan, akhirnya anak tetap di Depok. Selaras dengan kemauan anak.
Ketika pun akhirnya diberitahu tentang itu, anak berkata,
"Aku masih dalam program PKL, tidak mau pulang !"
Keinginan anak kukuh, pemulihan di Depok, dekat dengan teman-temannya. Pikir kami, mungkin disela perawatan masih bisa beraktiftas sambil rebahan. Jadi dengan beristirahat total anak berharap bisa segera pulih dan tentunya segera  bergabung dalam tim kembali, menyelesaikan program PKL.
Batin saya, tekadnya begitu kuat. Hanya, bahasa dalam komunikasi kami agak terbatas itulah yang membuat kami yang jauh, mengambil interpretasi tentang keadaannya didominasi perasaan, kurang logika. Di WA jawabnya agak lama. Sekalinya jawab, satu dua kata. Di telfon suara terbata.
Anak lelaki saya ini termasuk generasi Z, lahir di 2002. Ortu manapun akan mengalami bagaimana anak begitu familiar dengan gadget, aplikasi mobile dan desktop, efisiensi ala google dan e-commerce, dll. Â Karakter mandiri, lebih suka berkomunikasi aktif melalui media sosial menjadi dominan dalam kondisi isoman. Tetapi tidak untuk urusan cuci baju.
Siang tadi ibunya melo lagi. Baju bersih anak sisa 2 pasang. Lainnya sudah kotor kepakai. Normalnya biasa di hari minggu baru nyuci. Tapi saat isoman, lemas tak kuasa, lunglai tanpa tenaga. Itulah, satu-satunya aktivitas anak yang tidak mampu dikerjakannya.Â
Sesiang sesore di dalam kamar istri browsing searching laundry di Depok yang menerima layanan cuci penyintas covid atau binatu. Tidak ada. Ada satu yang merespon, tetapi jauh dan masih berusaha menawarkan ke rekan binatu terdekat lokasi untuk handle. Dan hasilnya, nothing.
Kami dapat kontak dari teman anak yang selama ini jadi tumpuan komunikasi dan penerimaan paket via ojek online untuk mencoba hubungi seseorang yang selama ini  menjadi  penghubung dokter periksa anak. Pegawai lain lagi dari orang yang budiman.
Saya chat beliau untuk dapat menelfon atau bicara dengan chat. Beliau terima. Saya telfonlah beliau. Tujuannya satu, mungkin bisa membantu mencarikan seseorang di sekitar lokasi rumah isoman yang bisa handle cucian paling tidak 3 hari sekali. Tentu akan kami bayar kerjanya diluar ongkos laundry.
Dalam perbincangan singkat tersebut, jujur beliau berkata adalah alumni penyintas covid. Ada kelegaan anak berada di dekat orang yang pernah merasakan langsung dan tentu faham semua terkait sakit yang diderita anak. Pengalaman yang sangat berharga di dalam situasi tak menentu seperti saat ini. Selanjutnya beliau berkata akan mengusahakan.
Sehari kami menunggu tidak ada jawaban, kami faham dan menarik kesimpulan, tidak ada laundry atau binatu yang mau. Logika yang terbangun, mendekat penyintas saja berpotensi terinfeksi apalagi ini berjamah langsung dengan bajunya.
Ibunya mencoba menjalin komunikasi dengan teman mahasiswi, yang salah satunya diantara mereka juga ada yang positif. Siapa tahu, telah menemukan layanan sejenis. Jawabnya, tidak ada.
Enough. Jadi selama masih isoman, berarti kami harus kirimkan baju ganti, sampai anak sembuh dan kuat cuci sendiri. Taktis, beli pakaian di e-market , plus tantenya yang ikhlas mencucinya dulu, baru dikirim ke Depok dengan jasa ojek online.
Kami sangat terbantu dengan interaksi layanan berbasis teknologi di jaman ini, yang mampu mendekatkan yang jauh. Menyederhanakan fungsi waktu. Tentu tak menafikkan hal yang lebih utama yaitu empati sentuhan kemanusiaan dan tentunya kehadiran Tuhan, Allah SWT.
Ada banyak kemudahan di era disrupsi teknologi saat ini. Sekedar beli barang keperluan sehari-hari sampai perangkat  khusus seperti alat Nebulizer yang kami kirimkan untuk melegakan sesak saat asma menghampiri.
Alat itu pada akhirnya belum terpakai. Karena sesaknya tidak sekedar asma, tetapi lebih akibat covid. Prinsip semburan aerosol, uap yang terhirup masuk ke pernafasan juga dikuatirkan menjadi jalan makin banyak virus intens dan bersemayam lebih dalam di rongga paru.
Dari mana kami tahu? Anak sendiri yang beritahu. Seperti kebiasaannya mengoreksi chat yang dishare di WAG terkait informasi hoax atau benar. Ilmu medis, diagnosa online, dokter siaga, atau kasus perkasus tindakan medis dan konsultasi penggunaan obat banyak tersedia di online. Tanpa kita sadari, anak gen Z yang begitu familiar dengan teknologi ini juga menyaring informasi terkait dirinya sebagai penyintas covid.
Covid yang menginfeksi sel tubuh dan organ tidaklah sesederhana kita orang awam menganalogikan dengan kasus flu biasa. Kita tidak bisa mengeneralisasi solusi, karena perilaku virus corona tentu berbeda dengan virus flu.
Apalagi terkait tubuh manusia punya karakteristik unik masing-masing, yang boleh jadi unik juga solusinya. Teh lemon, susu beruang, multivitamin, bawang putih dan lain-lainnya adalah ikhtiar manusia.
Mana yang paling tepat ?Â
Anak" gen Z mungkin akan mengandalkan informasi online, sementara ortu mungkin lebih memilih saran dokter, sahabat dan kerabat.Â
Jamannya sudah beda !!!.
alifis@corner
010721
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H