Uang Kembalian 0 Tetesan
Pas, selusin hari yang lalu saat siang langit cerah, saya dan istri sudah di depan loket PDAM Kab Kupang. Hanya ada 5 orang dalam antrian termasuk mbak petugas yang kemudian memanggil nama saya lewat speaker.
"Dua puluh ribu" suara mbak petugas. Itulah nominal yang mesti kami bayar untuk pemakaian air selama bulan Januari. Â Kok bisa ya? Batinku. Yang rasa-rasanya, pipanya tidak mengeluarkan air setetespun. Itu bulan Januari ya. Kontradiktif dengan 3 pekan Februari ini, air melimpah ruah. Debitnya tak kaleng-kaleng. Bersaing dengan limpahan air hujan yang jatuh di pelimbahan, eittt, bukan dong, di drum penampungan.
Lewat lubang kaca istri yang di urutan depan menyorongkan duit 100 ribuan untuk membayar. Akad serah terima. Keduanya belah pihak sepakat menerima. Hanya memang masih ada sedikit 'ganjalan' batin. 0 Tetes = 20.000,- (Keanehan ini saya tulis di lain waktu dengan  judul Air PDAM. Kalau ga malassss). Hmm. Tapi ini jauh lebih kecil, dibanding bayar di bulan yang lain. Daaan ini, berarti masih ada 100 ribu yang lain di genggaman istri, karena saya tadi titip 2 lembar merah.
"Trerettt...treettettt ..."
Sayup keras lemah suara printer terbuai angin Doppler. Printer jadul sedang mencetak kertas receipt yang memuat data penggunaan air dalam kubikasi. Sedikit cerita ya, jenis printer pita dot matrix ini walau jadul memang istimewa. Saya masih ingat tugas kuliah era 91 an diketik dengan CW (Chi Writer) under DOS floppy disk dan dicetak dengan printer jenis ini. Uniknya, kemunculan teknologi printer serbuk, laser apalagi tinta, tak mematikannya. Sektor jasa masih mengidolakannya. Bahkan, harganya pun jadi mahal gila.
Lembar receipt diterima istri beserta kembalian 80.000 yang terdiri dari 2 lembar uang kertas, merah dan coklat. Sambil jalan ke motor, saya bilang,"Kembalian, belanja buah ya !". "Trus mana yang selembar, balikin", sambil tangan saya menengadah ke arahnya.
"Pas !!".
"Yang selembar untuk belanja buah, yang kembalian disimpan, jadi koleksi saja".
"Loh..loh, memang dikasih uang kertas apa?"
"75.ooo !!!".
Ooo, itu. Uang kertas edisi khusus HUT RI ke-75 yang dulu ramai diburu masyarakat. Yang viral jadi perdebatan, apakah penerbitan uang pecahan Rp 75.000 tahun emisi 2020 itu merupakan wujud syukur dan berbagi kebahagiaan kepada rakyat Indonesia atau karena negara butuh dana segar sebagai tambahan likuiditas kebutuhan pembiayaan negara?
Karena siang panas, kami segera meluncur pulang ke rumah. Setelah bersih-bersih diri dan makan siang, sambil rehat kupotretlah kertas-kertas itu.
Sambil membolak-balik mengamati,saya berguman,
"Katanya uang koleksi, edisi khusus, tidak ditujukan untuk peredaran bebas, lah kok ini sudah agak lusuh dan jadi uang kertas biasa. Sudah berjalan kemana-mana?".
Istri menyahut,"Musim pandemi, krisis keuangan. Tadinya uforia bertujuan untuk koleksi, tapi karena terdesak kebutuhan, ya alih fungsi bukan jadi koleksi tapi turun derajat jadi uang biasa".
Woalah, lah ini sih menjadi salah kedaden. Uang 75.ooo yang tengah tahun lalu yang katanya hadir untuk mensyukuri kemerdekaan, memperteguh kebhinekaan, dan menyongsong masa depan gemilang, saat ini tak ada sisa-sisa kejayaannya. Kasihan, kasihan ...
Jadi Koleksi ?
Apakah berarti 75 juta lembar uang 75.ooo ini tidak lagi unik, istimewa, edisi khusus?
Tergantung yang megang saja sih. Ketika membayangkan yang memiliki ada 75 juta orang, karena saat berburu saat itu hanya diijinkan 1 KTP hanya 1 lembar, sebenanrnya ini tidaklah akan menjadi kolektor langka.
"Ada 75 juta kembarannya, men".
Tapi bagi sebagian orang yang diburu adalah uang edisi khusus bernomor seri cantik. Jangan tanya harga. Saat itu, belum ada 24 jam hari pertama penukaran uang edisi khusus 75.ooo dibuka, platform belanja daring (e-commerce) sudah dipenuhi dengan penjualan uang tersebut. Harganya pun bervariasi. Bahkan, ada yang menjual hingga kisaran harga Rp 8 juta.
Beda lagi alasan orang yang suka dengan seni, keistimewaannya 75.ooo itu sudah di dalam uangnya sendiri, dari angka nominalnya yang tidak biasa, 75 memiliki ukuran normal sementara ketiga nol dibelakangnya kerdil. Itu untuk menunjukkan 75 tahun dirgahayu RI. Dibelakangnya bergambar berbagai macam baju adat Indonesia yang dipotret dari anak-anak di beberapa belahan budaya Nusantara, termasuk NTT. Yang memiliki uang 75.ooo yang kemudian kami dapatkan saat membayar air PDAM ini, mungkin saat itu terbawa rasa primordial bercampur emosional atas keistimewaan gambar ini. Yang kemudian rasa itu memudar seiring mendesaknya kebutuhan.
Akhirnya, niat setengah hati kala itu untuk mengoleksi uang kertas 75.ooo ini dengan sendirinya tercapai. Â Walau dengan cara berbeda. Jalan yang tak terduga-duga. Â Tidak dengan mengejarnya atau mesti beronline ria. Tak sengaja dicari, datang menemui. Maka saat ini uang 75.ooo sudah jadi koleksi.
Tidak didompet, tetapi disimpan dengan metode paling sederhana. Di sebuah album foto. Dalam bingkai mika ukuran 2R atau 4R lupa. Memang foto cetak tidak jaman lagi. Foto-foto saat ini disimpan di album digital. Tidak pernah memudar. Bahkan bisa dipermak agar viral. Dengan nyaman uang koleksi 75.ooo itu terselip tipis bersama dengan uang kertas koleksi lainnya. Mereka adalah uang kertas 1 rupiah tahun 1962, uang kertas 25 rupiah tahun 1958, dan uang kertas 100 rupiah tahun 1992.
Bung Karno dan Bung Hatta tampak tersenyum bahagia mengenang uang kertas kuno hadir dihadapannya. Saya pun punya secuil kenangan dengan uang kertas itu. Yang 1 rupiah adalah pelengkap 1 dari mahar 112001 rupiah saat menikah di tanggal 1 Januari 2001. Yang 100 rupiah adalah uang yang sering saya pegang saat sekolah SMA. Naik bis pulang pergi sekolah Joho -- Ploso hanya perlu 1 lembar 100 rupiah itu. Sedang yang 25 rupiah kertas, saya sama sekali tidak memiliki memori itu. Entah lupa entah karena tidak pernah memegangnya.
Yang jelas, uang-uang kertas itu telah menyejarah karena pernah berlaku di masa lalu. Tapi uang kertas 75.ooo saat ini masih berlaku, untuk transaksi maupun sekedar dikoleksi. Bagi sebagian besar orang yang mungkin sudah melepasnya dari koleksi, 75.ooo berubah fungsi, tidak lagi bermakna dan berharga tinggi. Nilainya tinggal sebatas besar angka yangtertera. 75.ooo menjadi uang biasa yang dipegang orang biasa seperti saya.
Entah 20 tahun lagi, entah 100 tahun lagi, saat anak cucu atau cicit menemukan album koleksi ini sambil membaca tulisan di blog ini, yang adalah celotehan kakek atau nenek moyangnya. Saya, kamu anda, mereka tidak tahu apa kejadian di masa runtun waktu. Di masa depan. Yang bisa dilakukan, kerjakan hal-hal yang positif. Entah membawa manfaat atau tidak disaat ini. Apalagi membawa happy.
Penfui, 220221 Â 21:12
alifis@cornerÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H