Mohon tunggu...
Alifis@corner
Alifis@corner Mohon Tunggu... Seniman - Seniman Serius :)

Sebagaimana adanya, Mengalir Seperti Air | Blog : alifis.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jalan Tengah: Kuat-Kuatan

30 Desember 2020   20:09 Diperbarui: 30 Desember 2020   20:26 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maka berjejal-jelalah manusia mengantri bagai ular menari-nari. Di bandara dan di stasiun kereta api. Di klinik-klinik dan layanan kesehatan yang jumlahnya tak memadai. Antri berjam-jam menghapus waktu berharga bercanda dengan keluarga. Kawanan corona mengintai dengan tertawa-tawa. Kebijakan demi kebijakan ada lucunya. Antri berjam-jam berjubel menguras tenaga dan stamina. Menguras rasa dan bahagia. Aktivitas manusia yang sia-sia tapi masih ada. Menurunkan imunitas dan pertahanan tubuh. Dehh...

Yang perjalanan darat, yang mobil pribadi kelimpungan. Bimbang. Tidak diwajibkan tetapi akan ada pengujian secara acak di peristirahatan perjalanan. Yang berfikir konstruktif, test duluan. Yang aji mumpung lanjut untung-untungan. Yang terjaring dan tidak berminat test di tempat, akhirnya balik kanan. Privilasi di masa pandemi memang membutuhkan ekstra dana. Niat wisata menjadi buyar. Impian berbahagia menjadi ambyar. Imun menurun kembali. Imun duh imun.

Kita berada di 'Jalan Tengah'. Tetap beraktivitas normal tetapi dengan protokol kesehatan. Tetap 3M. Dimanapun, kemanapun. Tidak terpenjara tetapi juga tidak leluasa. Tidak terlalu dipaksa juga tidak dibiarkan. Tidak diperintah tapi juga tidak dicuekin. Itulah edukasi yang dibangun stakeholder menyikapi pandemi Covid-19 di Indonesia. Apakah itu yang terbaik? Iya mungkin.

Mungkin, ini mungkin ya. Pemerintah lega dengan strategi ini. Karena tidak perlu merasa lagi  menjadi penentu utama solusi pandemi dan sekaligus juga tidak akan mau sebagai pihak yang disalahkan atas carut marutnya kehidupan berbangsa akibat pandemi. Ini sudah jadi tanggung jawab bersama. 

Jadi walau naif dan ga wajar, bisa saja petugas pemerintah kemudian menunjuk-nunjuk rakyat dan masyarakat sebagai pihak yang salah. Wong masyarakat juga ndableg gedeg. Yang paling simpel, dihimbau pakai masker saja susyaahnya minta ampun. Yo to. Yo opo ora? Sudah dihimbau ga peduli, ya sudah. Tugas sudah dijalankan. Coba perhatikan berapa ratus kali sehari himbauan itu meluncur di jalanan, media sosial. Tidak kurang-kurang.

Emboh sak karepmu menurut rakyat jelata. Lah, yang diatas ga kasih teladan. Dengan privilasinya malah dimanfaatkan. Kalau mengeluarkan aturan cepat seperti kilat. Saat diterapkan di masyarakat, ga dijaga keajegan dan konsistensinya. Ada yang melanggar dibiarkan, ada yang ditahan, ada yang dibackup alasan. Rasa keadilan menjadi barang mahal, rasa percaya tergoyahkan. Ketidakpercayaan menimbulkan persepsi yang mengerak, semua kok merasa dimanfaatkan. 

Emboh sak karepmu menurut rakyat jelata. Yo embuh sak karepku, imbuhnya. Semua mikir uripnya sendiri-sendiri. Aturan yang bisa dijangkau dilaksanakan, yang tak bisa diabaikan. Sistem dan pola manajerial, kolaborasi dan integrasi di negeri ini masih belum menjadi kultur yang 'siap grak' di kala darurat. Kita terbiasa apa adanya dan setelahnya ada apa-apanya.

Pengusaha sekarang sepertinya juga lebih tenang dengan jalan keluar ini. Saat usaha ditutup, usaha jadi macet. malam tidak bisa tidur dihantui kredit macet, hutang yang terus menggunung. Filosofi biarlah uang yang bekerja, sedikit terganggu. Sekarang bisa jalan lagi. Walau kadang-kadang di sektor tertentu masih buka tutup. Tapi, toh saat ini usaha dan bisnis tetap bisa dijalankan tanpa terganggu di sektor produksi, distribusi dan transaksi. Ekonomi jalan. Tapi, pandemi juga jalan. Jalan tengah selalu ada resiko.

Jalan Tengah kurang efektif menurut epidemiologi, pelaksana medis, aktivitis dan pemerhati pandemi serta oposisi. Apa yang saya dengar di media atau kebetulan mendengar dari keluhan dan teriakan mereka, ini menjadi sebuah ironi di masa pandemi. Dari awal pemerintah tidak care, cenderung mengabaikan. Model-model statistik ilmuwan tidak dilirik, pseudosains ala kalung bergaung, tidak mau lockdown dianggap terlalu keji, tapi bantuan sosial dikorupsi. 

3M digaung-gaungkan tapi 3T kurang optimal. 3M tidak terlalu dipedulikan rakyat kebanyakan, pejabat dan penguasa tidak menyuguhkan teladan. Yang ada pembiaran. Menteri Sosial sudah ganti. Menteri Kesehatan sudah berganti. Virus corona tak kalah cekatan, juga ikut beradaptasi dan sudah bermutasi.

Kuat-kuatan. Kekuatan dan energi baru dari manusia tidak sepenuhnya selalu unggul dihadapan 'entitas pengganggu' seperti corona. Pandemi covid-19 menjadi faktor uji. Mana yang lebih gigih dan mampu mempertahankan eksistensi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun