Hari kemarin, total positif covid19 di Indonesia sudah melampui 200.000 atau saya sebut 200K. Saya tidak akan terkejut seperti dulu lagi. Sudah begitu cukup informasi yang menjawab secara logis, alasan dibalik angka itu. Tidak perlu statistik kualitatif atau inferensial. Paling tidak setiap hari, entah jam berapa, saya mendengar atau melihat update jumlah yang terus bertambah. Tidak pernah stagnan. Dan tidak mungkin turun. Bagaimana tanggapan masyarakat dengan angka 200K? Beragam. Sangat manusiawi. Itulah manusia dengan kemanusiaannya. Saya coba urai alasan dibaliknya.
200K, Beresiko dan Merisaukan ...
200K sebuah jumlah yang bisa dimaknai besar, bahkan  sangat mengkuatirkan dengan pertambahan harian seolah tak henti. Asumsi dan analogi gunung es menjadi justifikasi. Mengacu data hari ini, kamis 10 Oktober 2020 tercatat 203.342 positif terinfeksi dengan jumah sembuh 145.200 dan jumlah kematian 8.336. Artinya rasio mortalitas Indonesia sebesar 4,1%. Yang berarti 1 kematian dari 24 kejadian infeksi.
Secara logika ini rasio yang sangat tinggi. Pandemi covid19 di Indonesia begitu mematikan.  Walau di AS, Brasil, India lebih tinggi lagi. Akan tetapi,  merujuk pada asumsi  preventepidemics seperti dikutip Kompas.com,  hasil konsensus memperkirakan persentasi jumlah kasus meninggal antara 0,05-1%. Yang paling dianggap valid ada di angka 0,8%. Sehingga jika data kematian terkini di Indonesia per-09 September 2020 ada di angka 8.336, maka total kasus infeksi yang sesungguhnya terjadi diperkirakan ada di kisaran angka 1.042.000. Bandingkan dan tengok kembali data yang terdeteksi di Indonesia yang hanya 203.342 (19,51% ) saja. Hanya ? Hmm...
Ini hanya perkiraan secara kuantitatif, bukan bermaksud menakuti atau membesar-besarkan. Toh, tanpa tulisan inipun fakta sudah berbicara, pandemi covid19 di Indonesia belum menampakkan berakhir, pun di gelombang pertama. Jangan berharap ada gelombang kedua dan seterusnya. Banyak istighfar sajalah. Dimana 838.658 positif yang tidak teridentifikasi? Ada di tengah-tengah masyarakat dengan status asimptomatik, presimptomatik atau bahkan simptomatik tapi cuek. Wajar akhirnya DKI kembali PSBB. Nah loh...
200K, Wajar Sedikit Berubah dari Biasanya
200K, bisa juga dimaknai  wajar. Alasannya bisa macam-macam. Logikanya, dibandingkan dengan total jumlah penduduk Indonesia yang hampir 270 juta jiwa. Hanya 0,075%. Bahkan jauh dibawah 0,1%. Dinamika populasi tidak terganggu dengan rasio mortalitas sekecil itu. Asumsi yang dibangun adalah yang mati adalah yang memiliki sakit bawaan. Ini nalar jangan dihakimi dengan ketiadaan empati dan simpati. Saya hanya berusaha merekonstruksi seliweran pemikiran yang bisa muncul pada orang-orang yang menganggap pandemi dan dampaknya ini adalah sebuah kewajaran.
Yang merasa masih muda dan badan sehat, merasa sebagai bagian yang tidak akan mengalami resiko kematian akibat terinfeksi covid19. Yang sudah tua, mengurangi aktivitas sosial di luar rumah.
Mereka mungkin adalah orang-orang yang sadar resiko tapi tidak terlalu cemas dengan dampaknya. Social Distancing, masker, HS menjadi bagian protokol  kesehatan menjadi sebuah keasadaran tetapi bukan sebuah halangan untuk tetap beraktiitas sebagaimana biasa.
Wajar, pandemi atau epidemi memiiki siklusnya sebagaimana Flu burung, Ebola, Malaria, Demam berdarah, bahkan influensa. Hidup juga memiliki siklusnya dari lahir, anak, remaja, dewasa, berkeluarga, tua dan pada akhirnya mati. Sebuah kewajaran dan hidup tetap dilalui dengan porsinya. Sosial Distancing, Masker dan HS adalah sebuah kewajaran di era pandemi.
200K, Tak Bermakna dan Tak berarti apa-apa
Mungkin ada tapi disangsikan keberadaannya. Ada tidak ada, dianggap biasa saja seperti tidak pernah ada. Yakin ada tetapi tak peduli adanya. Jadi dengan  adanya data 200K, bisa jadi tak bermakna apa-apa bagi yang memiliki keyakinan seperti itu. Tak peduli, cuek mati.