Ngobrol serba-serbi belajar dari rumah (study from home) atau apapun istilahnya seakan tak ada habisnya. Dari yang remeh-temeh sampai yang bikin ‘kecut’ orang tua (ortu). Dari yang lucu-lucu bikin geli bahkan ngakak sampai yang kadang sedikit drama harus teriak-teriak dengan anak. Bayangkan teriakan yang biasa saja ya, bukan yang bikin gaduh tetangga :).
Yang remeh itu seperti mencarikan musik pengiring senam gembira untuk pelajaran PJOK (Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan) di Youtube dan membantu merekam saat anak memperagakan gerakannya. Yang agak bikin ‘kecut’ ortu tapi bangga dalam hati, saat hafalan surat dan ayat anak ternyata sudah lebih banyak dibanding ortunya :) .
Yang bikin ngakak misalnya saat ada tugas menyanyikan kembali sebuah lagu yang dishare Guru di pelajaran tematik. Ayah mengiringi lagu dengan gitar, ibu memegang hape untuk merekam. Nada gitar menuju kemana, nada suara anak menuju kemana :)
Hal-hal begini akan dialami ortu yang memiliki anak level TK atau SD. Seperti anak saya yang bontot, yang saat ini duduk di kelas 3 SD, proses pembelajaran daringnya memang sudah dilaksanakan efektif sejak awal masa pandemi di semester kemarin. Semester ini juga masih daring, yang diselingi dengan visit home dan visit school pada pekan-pekan tertentu.
Program sekolah yang cukup adil menimbang keadaan dan perasaan siswa. Tapi bagi ortu yang anaknya sudah level SMP atau SMA, bahkan Perguruan Tinggi, paling-paling yang mendasar adalah ketersediaan sarana internet, hape atau laptop. Lain-lainnya mereka lebh mandiri.
Percayalah, jalani –apapun keadaannya, semuanya akan menjadi pengalaman anak dan pada saatnya menuju proses dewasanya nanti, hal itu menjadi kejadian yang manis untuk dikenang. Termasuk yang mungkin mengalami keterbatasan, karena ortu sangat sibuk dengan pekerjaan atau aktivitas di lapangan.
Seiring perjalanan waktu, sekecil apapun kontribusi proses kehidupan akan menghadirkan hikmah yang bermanaat dalam proses kehidupan di masa depan. Jangan pernah disesali, tidak usah ditangisi.
Antara WIB dan WITA
Ini pengalaman unik tentang zona waktu dalam pembelajaran daring. Bukan saya yang mengalami tetapi anak saya yang kedua, Ata. Unik, karena mungkin tidak banyak siswa yang mengalami. Hanya beberapa gelintir yang kebetulan mengalami perbedaan zona waktu antara domisili rumah dengan sekolah.
Rumah kami, dimana Ata masih tinggal dan mengikuti sekolah daring bertempat di Kelurahan Penfui, Kota Kupang, NTT. Lokasi sekolah ada di Grati, Kab Pasuruan, Jatim.
Di propinsi yang berbeda. Terpisah jarak 1500 km lebih. Juga berbeda zona waktu. Kupang, NTT masuk zona WITA ( Waktu Indonesia Tengah) termasuk Kota Makasar, Sulsel, dan Kota Mataram, NTB.
Sedangkan Pulau Jawa secara keseluruhan masuk zona waktu WIB (Waktu Indonesia Barat). Berbeda 1 jam. Jadi kalau di sekolahnya Ata, MAN IC (Insan Cendekia) Pasuruan itu jam 08.00, maka di rumah jam dinding menunjuk jam 09.00.
Di balik cerita zona waktu, mungkin terbersit pertanyaan kenapa memilih sekolah di lokasi yang begitu jauh? Di masa pandemi lagi, khan semua perjalanan keluar propinsi menjadi ribet?
Tidak ribet, karena semua proses sudah online. Bahkan sebelum pandemi ini terjadi. Alasan pertama, itu sekolah idamannya sejak awal masuk MTs Negeri Kota Kupang. Kedua, kebetulan berada di propinsi asal kami, Jatim. Alhamdulillah sekolahnya tidak jauh dari kota Pasuruan, kelahiran Ata dimana neneknya, Yangti berdomisili. Ketiga, bagi saya sebagai ayah, Ata itu anak laki-laki, akan lebih baik mengembara mendapatkan pengalaman hidup yang lebih bermakna yang nantinya akan menguatkan dan meneguhkan eksistensinya.
Jadi laki-laki itu harus kuat. Ortu akan selalu suport apapun keinginan anak asal positif dan membawa manfaat dan kebaikan untuk dirinya. Jadi ceritanya, sejak diumumkan tanggal 7 Maret saat awal pandemi, Ata diterima di MAN IC Pasuruan, ortu plong, saya plong, idealisme dan hasrat mulia itu terwujud. MAN IC menjadi muara semua doa dan keinginan ortu-anak. Alhamdulillah disyukuri saja.
Nah, 7 Juli yang normalnya masuk asrama di Grati Pasuruan, jadi tertunda karena Jatim masih menjadi zona merah pandemi. Semester ini Ata mesti melalui semester pertama di kelas X dengan belajar dari rumah di Kupang. 11 – 13 Juli mengikuti Matsama (Masa taaruf siswa madrasah), terus berlanjut dengan Matrikulasi selama 2 minggu dari tanggal 14 – 30 Juli 2020.
Tanggal 14 - 15 Juli diadakan pretest untuk melihat kemampuan dasar siswa. IPS dan PAI + Bahasa Arab di hari pertama, IPA dan Bahasa Inggris di hari kedua. Demikian juga di tanggal 29 – 30 dengan pola dan subjek yang sama diadakan post test. Bedanya durasi waktunya. Untuk pretest IPS, PAI dan IPA berdurasi 150 menit, sedang untuk bahasa Inggris 90 menit. Saat post test durasi direduksi. IPS, PAI dan IPA menjadi 90 menit, dan bahasa Inggris menjadi 60 menit.
Saat Mulai, Waktu Habis!!!
Ini yang kemudian baru disadari Ata belakangan adalah saat test bahasa Inggris di post test, saat awal test dimulai, ternyata waktu yang tersisa sudah habis. Padahal belum memulai 1 soal-pun. Setelah protes melalui WAG, pihak sekolah meminta Ata untuk mengerjakan saja.
Insiden diatas saya tidak mengetahuinya, Ata juga tidak cerita. Saya tahunya, dia sudah mengerjakan semua test di depan laptopnya, toh untuk urusan teknis sarana pendukung sudah siap. Tinggal Ata mengerakan test sebaik-baiknya. Ketika test demi test sudah dlalui, saya berfikir, dia sudah usaha. Tentang waktu yang bermasalah Ata belum cerita.
Hal tersebut saya ketahui saat akan test IQ di 2 hari yang lalu, yang aplikasi testnya mensyaratkan running di browser chrome, sementara di laptop yang tersedia hanya mozilla dan edge. Ata mengatakan, “Yah, sekalian sekalian diset waktunya untuk WIB ya, supaya tidak bermasalah”.
“Memangnya jadi masalah?”
“ Iya, yang post test bahasa Inggris saat matrikulasi waktu dimulai waktu Ata sudah habis, lalu Ata protes dan diminta guru untuk mengerjakan saja”.
Ya Allah, iya. Jadi sambil saya setting time zone di Date and Time laptop, dengan mengganti pada UTC+7 yang semula UTC+8, saya ingat dulu saat membuat program mengambil jam sistem yang ada di laptop. DI situ biang keroknya. Hmmm.
Jam Sistem Laptop, Sesuaikan dg Zona Waktu Server di Sekolah
Saya jadi sadar. Kalau aplikasi menghitung mundur durasi test yang ‘setting time’ pada aplikasi mengambil jam sistem pada komputer, maka Ata yang berdomisili di Kupang, NTT sudah menunjuk 60 menit lebih awal, 1 jam lebih maju. Saat 0 detik mulai bekerja, waktu Ata sudah terpotong 1 jam. Artinya, jika durasi waktu ujian 150 menit atau 2 jam 30 menit untuk IPS, PAI dan IPA untuk teman-temannya yang di WIB, maka Ata hanya mendapatkan waktu 90 menit atau 1 jam 30 menit.
Ini jelas merugikan diri sendiri, akibat tidak cermat menelisik sejauh mana sistem aplikasi test berperilaku. Ya jelas, saya memang tidak turut campur dalam proses test. Ata juga mungkin lebih fokus ke soal dan mencari jawabnya, tidak berfikir jauh tentang durasi waktu yang ‘agak aneh?’. Astaghirullah… ya gapapa, jadi pelajaran.
Jadi selama pretest, apalagi post test dengan soal sejumlah 85-an, Ata mesti mengerjakan dalam waktu 150 menit dan 90 menit. 1 soal hampir 1 menit, sisa 5 menit untuk bernafas (wadaouww…). Dan memang setelah saya tanya bagaimana hasilnya Ta? hasilnya memang tidak terlalu menggembirakan.
Hanya mungkin sedikit kekuatiran, kalau perbedaan hasilnya berbeda jauh secara signifikan dibanding teman-temannya yang memiliki keleluasaan 60 menit lebih lama.
Padahal itu menjadi salah satu pertimbangan untuk penjurusan IPA atau IPS yang mungkin akan segera diumumkan dalam 2-3 hari ke depan, untuk selanjutnya penentuan kelas dan belajar reguler sesuai jadwal dan ditambah kegiatan keasramaan. Jiwanya IPA, karena IPS selama ini tidak terlalu dijamahnya. Syukurnya pas ujian IPA di sesi lain, hasilnya cukup baik.
Nah khan, ini memang kejadian unik yang hanya terjadi jika terjadi perbedaan zona waktu. Siapa sangka? Sayapun tidak berfikir sejauh itu. Saya berfikir WIB, WITA saat sedang melakukan perjalanan ke barat, mencari kitab suci (Dehh, memangnya Kera Sakti). Ya, saat melintas zona saja. Beberapa webinar yang secara daring saya ikuti, tidak berurusan dengan zona. Jadi itu tidak menjadi hal yang terpikirkan dalam kegiatan pembelajaran daring.
Urusan ini akan terjadi pada sesi test yang berdurasi, waktunya dibatasi. Waktunya diset dari jam sistem komputer secara lokal. Dalam hal ini, WITA akan kehilangan 60 menit atau 1 jam waktu. Jika durasi 90 menit, tersisa 30 menit. Durasi 60 menit, maka saat klik mulai, sisa waktu anda = 0 sekon. Yang panikan dan jantungan bisa pingsan ini.
Jika pewaktu diset dari jam server dengan menghitung mulai detik ke-0, maka itu tidak berpengaruh, dimanapun anda berada, selama anda tepat bersamaan hadir daring secara real time. Ini mungkin menadi masukan pada operator, admin sistem informasi sekolah, jika siswanya bertebaran di zona waktu berbeda. Kalau memang seperti itu…
Akhirnya untuk urusan yang kecil saja begini, manusia mudah sekali luput. Apalagi urusan yang lebih kompleks dan ruwet. Ada lingkaran yang manusia bisa kuasai, ada lingkaran yang manusia sungguh tidak akan pernah memahaminya, Sedikitpun.
alifis@corner
050820
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H