Mohon tunggu...
Alifis@corner
Alifis@corner Mohon Tunggu... Seniman - Seniman Serius :)

Sebagaimana adanya, Mengalir Seperti Air | Blog : alifis.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi Ketupat Sudah Kehilangan Makna, Benarkah?

26 Mei 2020   00:51 Diperbarui: 26 Mei 2020   00:57 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beradab-abad lamanya Islam tumbuh dan berkembang di Nusantara dan selama itu telah menyatu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Perpaduan antara keislaman dan keindonesiaan melahirkan budaya Indonesia bernafaskan Islam yang khas.

Keragaman ekspresi kultural dapat ditemui di berbagai belahan wilayah Indonesia misalnya saat merayakan hari raya Idul Fitri. Salah satunya adalah tradisi ketupat di Jawa.

Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran yang oleh orang Jawa 'kampung' lebih familiar disebut riyaya (hari raya, hari kemenangan) atau bada (bakda, ba'da berarti sesudah puasa) jika dirayakan tanpa ketupat, terasa tidak lengkap, garing dan 'gimana gitu'.

Sunan Kalijaga menanamkan tradisi Islam di Jawa dengan 2 bada yaitu bada Lebaran tepat setelah puasa Ramadan berakhir dan bada Kupat sepekan setelah Lebaran. Makanan ketupat atau kupat yang dibungkus dengan daun janur ini mengandung makna filosofis yang dalam.

Kupat berisi beras putih yang diisikan dalam bungkus anyaman janur. Dipilih dari helai daun kelapa yang muda. Dimasak dengan ditanak.Bukan kupat namanya jika tidak dibungkus janur.

Nama Janur sangat filosofis. Janur, ja'a nur artinya telah datang cahaya. Anyaman berbentuk segi empat ibarat hati manusia. Menikmati kupat dengan membelahnya, memiliki makna orang yang sudah mengakui kesalahannya maka hatinya seperti kupat yang dibelah, insya Allah isinya putih bersih, hati yang diliputi cahaya (ja'a nur).

Kupat yang disajikan di bada Lebaran, bermakna Ngaku Lepat, mengakui kesalahan. Tradisi sungkeman menjadi implementasi ngaku lepat (mengakui kesalahan). Sungkeman mengajarkan pentingnya menghormati orang tua, bersikap rendah hati, memohon keikhlasan dan ampunan dari orang lain.

Kupat yang disajikan di bada Kupat, bermakna lebih komplit yaitu Laku Papat (menjalani empat tahapan) adalah Lebaran, Luberan, Leburan, Laburan. Lebaran, menandakan berakhirnya waktu puasa. Luberan (meluber, melimpah), ajakan bersedekah dan zakat fitrah untuk kaum miskin. Leburan, bermakna dosa dan kesalahan akan melebur habis. Terakhir, Laburan (labur putih), supaya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan batinnya.

Bada Kupat sebagai penutup prosesi empat laku umat muslim yang berpuasa. Dirayakan di hari 8 bulan syawal, setelah melalui puasa 6 hari di bulan syawal. Ibarat pengembara, maka inilah level terakhir laku yang menjadikan diri sebagai manusia utama.

"Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh." (HR Muslim).

Makanya saat itu hadir ketupat dengan berbagai menu hidangan dan di hantarkan ke saudara, sahabat, dan tetangga. Bahkan saya ingat waktu masih kecil, ketupat itu juga digantung di semua pintu rumah. Dibiarkan berhari-hari. Entah apa maknanya, tapi seiring dengan pemahaman agama, saya lupa sejak kapan, sudah lama hal itu tidak dilakukan lagi.

Seorang filsul Yunani berkata,"Panta rei, semua mengalir, berubah, dan tanpa henti". Seperti itulah sejarah. Semua mengalami proses perubahan. Semakin modern kehidupan sosial, semakin cepatlah perubahan itu datang.

Masih Relevankah Tradisi Ketupat ?

Tradisi ketupat yang familiar di jaman Sunan Kalijaga, mengalami perjalanan panjang hadir di tengah-tengah masyarakat saat berlebaran, sampai di era revolusi industri 4.0. Tradisi itu masih ada, dengan mudah kita jumpai menu ketupat dijadikan sajian utama di hari raya.

Apakah ada yang berubah? Secara fisik dari ketupat sendiri bisa dipastikan tidak. Walau varian pendamping ketupat semakin beragam. Masih menggunakan janur sebagai pembungkus. Janur dengan anyaman yang sama, walau saat ini ada berbagai variasi anyaman karena berkembangnya kreativitas manusia. Kehadiran ketupat instan tanpa janur memang sudah ada, tetapi ketupat kultural masih lebih diinginkan.

Secara substantif? Mungkin ya mungkin tidak. Waktu memang subjektif. Sejarah juga cenderung subjektif. Walau perlu dikaji lebih dalam sejauh mana terjadi degradasi nilai dari sebuah tradisi. Tapi secara umum bisa diamati bahwa ketupat yang dalam kemunculannya memiliki ajaran, makna dan teladan, saat ini bergeser hanya sebagai pelengkap saat berlebaran. 

Dalam sejarah, pengetahuan tentang asal-usul, pengalaman yang berharga, dan sebagainya, sangat perlu 'disimpan', 'dipelihara' dan 'dirawat'. Termasuk tradisi ketupat secara filosofis, makna dan dampaknya bagi karakter masyarakat Indonesia sangat penting dan bermanfaat. 

Ketupat Instan (mantuidaman.com )
Ketupat Instan (mantuidaman.com )

Ketika ketupat sekedar dilihat dari keunikan rasa dan tampilannya, sebagai media selfie, tidak dikaji dimaknai sebagai bagian refleksi nilai-nilai karakter utama dalam berkehidupan dan bernegara, wajar bangsa ini semakin kehilangan jati diri. Generasi muda akan semain tenggelam dalam budaya dan makanan instan, tak peduli tradisi ketupat yang bergizi akan nilai.

Sebagaimana saya teringat iklan jaman dahulu, "Ga ada lu, ga ramee". Seperti itulah eksistensi ketupat di jaman ini. Yang dahulu itu bagian substantif dari sebuah laku manusia, saat ini sekedar menu favorit di kala hari raya. Apakah putih dan sucinya hati sebagai analogi dari putihnya nasi ketupat di jaman ini menjadi hal yang sangat pribadi dan sulit ditemui?

Mungin tersimpan semakin merasuk di lubuk hati yang terdalam. Sementara anyaman janurnya, dikuatirkan sudah mulai tergantikan dengan plastik, yang tidak lagi menenangkan karena tiadanya nur cahaya.

Tradisi adalah ingatan kolektif. Ketika pelaku sejarah semakin kurang berperan dan digantikan oleh generasi baru yang tidak memiliki ketertarikan, maka tradisi akan pelan tergerus jaman. Nilai-nilai positif akan lenyap tersapu perubahan.

Jika di masa depan sudah jarang ditemui janur tentu makna nur cahaya menjadi tidak relevan. Sejarah tinggal legenda. Ketika tidak ada seorangpun yang bisa membuat anyaman ketupat lagi, saat itulah tradisi ketupat punah. Ingatan kolektif sudah pudar.

Apakah anda termasuk yang tidak bisa membuat anyaman ketupat?

Jika iya, mungkin inilah momen yang tepat untuk menggali kesadaran kearifan yang tertinggal dalam khazanah perjalanan sejarah tradisi ketupat di saat lebaran. Masih ada 5 hari lagi...

alifis@corner

250520

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun