"Wahh, semua waktu bermakna, Aisyah. Bukan hanya senja. Hanya untuk pengamatan Hilal harus senja. Ngomong-ngomong tulis dong puisi tentang senja, Ais".
"Ga mau ahh, habisin waktu. Katanya semua waktu bermakna. Aisyah baiknya bantu bunda dulu yaa.."
"Eit tunggu, mau tahu informasi Hilal senja ini tidak? Ini matahari sudah terbenam, susah maghrib disini", sergah mas Hilal di ujung hape.
"Okee, 3 menit yaa...", balas Aisyah.
Pemuda Hilal yang mengamati Hilal bulan sabit muda, mengklik setting kontras terkait perbandingan cahaya Hilal dan kecerlangan langit senja. Di tengoknya visibilitas pada posisi hilal relatif terhadap horizon dan posisi hilal relatif terhadap matahari atau elongasinya.
"Aisyah, kalau dikaitkan kriteria penentuan awal bulan hijriah dengan memerhatikan faktor ketampakan atau visibilitas hilal yakni elongasi bulan menjadi 6,4 derajat dan tinggi bulan minimal 3 derajat, besok kayaknya masih puasa deh, 1 hari lagi..."
"Stop, stop mas Hilal. Okee, Aisyah sdh dapat kesimpulan. Sambil nanti tunggu sidang isbat kemenag saja biar pasti. Kalo hanya Hilalnya mas Hilal, bwlum pasti, hehe...Sana gih, lanjut saja. Jangan lupa maghrib. Saya mau bantu siapkan hidangan bunda, 15 menit lagi disini berbuka. Daah, Wassalamu'alaikum".
"Eitt, tunggu-tunggu. Kenapa sih Aisyah merindukan Hilal?"
"Yeee, geer mas Hilal. Yang kurindukan Hilal bulan sabit muda, bukan Hilal pemuda menyebalkan, tau?", seloroh Aisyah sambil rertawa renyah.
Terdengar di ujung sana, Hilal muda tertawa bahagia, walau senja itu belum menemukan Hilal bulan sabit muda yang ditunggu-tunggu semua orang.
Maghrib sudah menjelang. Dua Hilal yang dirindu dan didamba Aisyah senja itu sama-sama tidak jelas. Pemuda Hilal, diajak berbagi, malah presentasi Astronomi. Tawa menggoda penuh arti. Tanya-tanya kek bagaimana keadaan Aisyah di rumah. Sedang mengerjakan apa. Tidak. Sementara Hilal penentu Idul Fitri, juga belum nampak.