Van Debeast sudah berjalan cukup jauh dari Kapan, kota resident pemerintahan kolonial Belanda di pulau Timor. Sepatu bot tinggi, dingin udara dusun, tak mampu meredam desiran asam laktat di sendi. Melelahkan. Sejenak berhenti, Debeast menebarkan pandangan.
Dia merasa sendiri. Orang laki tak ada tampak. Beberapa dari mereka sempat ditemui di kebun lereng sebelah hutan. Menyiangi tanaman jeruk dan apel. Di jalanan dusun, anak-anak tertawa ngakak berlarian mengejar anjing. Penghuni dusun itu menyatu dalam senandung alam.Tak peduli kedatangannya. Tak peduli statusnya. Seorang tentara Belanda.
Aneh baginya. Ini daerah tersembunyi bak surga, tapi semua apa adanya. Tak seperti orang Eropa yang silau berkompetisi meraup emas dengan rakus, merampas lada, merica dengan paksa. Kekayaan, keagungan, kekuasaan tak bermakna disini. Aneh.
Di kelokan depan, dilihatnya seorang perempuan tua, Ibu penghuni dusun sedang berjalan menyisir tepi jalan, berbelok hilang ke lembah. Van Debeast penasaran. Dengan langkah terpincang kecapekan dan senapan terguncang karena jalan bebatuan diikutilah arah menuju lembah.
Langkah sepatu berbentur batu menarik perhatian si ibu itu. Sejenak menengok, lalu merunduk mengambil air pada tanah berlubang.
Van Debeast faham. Sejak mengamati dusun memang dia tidak menjumpai air di atas. Apalagi sebagian besar tanah di kemiringan 40 derajat.Â
Secara logika tidak mungkin air di muka tanah.Harus dicari di lembah. Atau mesti gali di kedalaman. Makin penasaran dengan kehidupan dusun ini, Van Debeast bermaksud melaporkan situasi ini ke Komandan dengan komplit. Maka mendekatlah dia untuk bertanya pada si Ibu.
"Ik wil vragen, wat is de naam van dit dorp?"
(Saya mau bertanya, apakah gerangan nama dusun ini ibu? ).
Si Ibu yang tidak paham bahasa dan maksud Van Debeast, hanya tertegun dan melanjutkan kesibukan menimba air.
'Moeder, ja moeder. Ik ben Van Debeast. Heeft dit dorp een naam?' ( Ibu, iya Ibu. Saya Van Debeast. Ini dusun apa punya nama?).