Di pekan ini topik tagar begitu membahana. Bukan sekedar sindir  antar 'dua kubu' yang masih belum ikhlas melepas perseteruan sejak Pilpres 2019, yang mungkin bibit-bibitnya sudah mengerak sejak Pilpres 2014. Saya sebut 'dua kubu' ini begitu militan, hingga buta hati dan susah berlapang dada. Saat ini sedang terjadi peperangan seru, bersenjata istimewa yaitu TAGAR.
Begitu populernya tagar, bikin geleng-geleng kepala Gus Nadir, sebutan untuk sosok 'Akademisi yang Kiai' dan 'Kiai yang akademis".  Saya yakin anda semua sudah mengenal pria yang memiliki nama lengkap  Nadirsyah Hosen. Kali ini, Gus Nadir  membuat cuitan mengkritisi fenomena tagar terorganisir. Kalau jaman dahulu mungkn kita ingat dengan istilah OTB, organisasi tanpa bentuk. Nah istilah yang disinggung Gus Nadir disini adalah 'Orkestra Tagar' yang di gerakkan pasukan gerak cepat 'Buzzer' dan dikomandoi 'Kakak Pembina'.
Diksi 'Orkestra Tagar' yang dilempar oleh Gus Nadir, di twitland dengan lugas menelanjangi motif-motif permainan , persaingan, permusuhan, bahan rekayasa tagar yang silih berganti bermunculan di trending topic. Akibat berabe, kegemesan Gus Nadir menuai badai. Perang berkembang dari dua kubu menjadi tiga kubu.
Anda bisa bayangkan, kedua kubu saling berperang memperebutkan puncak trending topic. Lalui Gus Nadir yang berbadan besar dengan rambut panjang berkibar-kibar datang ke tengah-tengah medan laga, berteriak-teriak sampai serak berusaha menyadarkan ketidakdewasaan dan kesia-siaan sikap kedua kubu. Bukannya berhenti dan berdamai, perang tetap berlanjut. Parahnya Gus Nadir justru ditimpuki, dijambaki dan dikata-katai. Berhari-hari peperangan tidak mereda, justru makin menggila. Bulan Ramadan seharusnya berpuasa, justru kok makin membara.
Rasional Berbangsa dan Bernegara
Gus Nadir memiliki tujuan mulia. Membelajarkan masyarakat untuk bepikir rasional dalam mengamati dan mengkritisi berbagai aspek menyangkut ipoleksosbudhankam. Segala hal berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Termasuk situasi di tengah pandemi covid19 yang cenderung dipolitisasi oleh 'semua pihak'. Akibat perang opini dan masing-masing berargumentasi untuk citra diri, wabah yang diharapkan landai di akhir Mei, malah melonjak tinggi. Duh, Gusti...
Rasional disini tidak ada sangkut-pautnya dengan Pilpres 2019 lalu yang memenangkan Pak Jokowi dan KH Makruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2019 -- 2024. Saat itu, ingat ya saya berbicara 'saat itu' memang ada kecenderungan atau orientasi pemilih yang diklasifikasi dalam 2 tipologi pemilih, yaitu pemilih rasional atau objektif dengan pendekatan variabel  policy-problem solving, dan pemilih fanatik atau subjektif dengan pendekatan variabel ideologi atau sifat primordial. Saat itu.
Seharusnya, selesai kontestasi dan hajatan Pilpres, semua komponen masyarakat kembali meluruhkan ego-ego partisan dan kembali memposisikan diri sebagai rakyat yang bekerja sesuai  dengan bidang dan keahliannya. Semua kembali membangunkan diri untuk mengambil peran positif dalam rangka kemaslahatan umat, kemandirian bangsa dan kesejahteraan bersama. Di lain pihak DPR, DPD, ormas dan orpol turut mensupport dan mengkritisi proses pembangunan secara objektif dan konstruktif. Ulama sebagai partner Umara juga mendampingi dan mengarahkan jalannya pemerintahan agar arahnya benar, menjunjungtinggi cita-cita mulia, kemaslahatan umat dan kesejahteraan rakyat.
Tapi realitasnya tidak sesederhana angan. Secara spesifik, saya boleh sebut kedua kubu itu adalah kubu yang benci Jokowi dan kubu yang cinta Jokowi. Begitu meriah saling sindir, caci, merendahkan eksistensi di medsos yang akhirnya justru tidak menyehatkan kultur komunikasi anak negeri. Di era demokrasi paling maju pun, subjektivitas itu tidak boleh dilarang. Kebencian pun tidak terlarang. Â Tapi etika dan objektivitas harus dikedepankan, bukan ditenggelamkan.
Ketika semua pihak sudah merasa menjadi yang paling benar. Tutup mata telinga karena tidak sepaham. Kritik dimaknai hinaan. Menengahi dianggap berpihak. Menasehati dianggap tak menghormati. Oleh siapa, oleh semua pihak. Ibarat penyakit, partisipasi demokrasi masyarakat kita agak-agak kritis, kalau tak mau dibilang akut. Duh, Gusti...
Buzzer Disentil dengan Koar dan Tertawa Lebar
Saya terlalu melankolis kali. Toh berseteruan dan peperangan seru ini hanya terjadi di lini medsos. Yang lebih banyak disimak oleh kalangan menengah ke atas. Di dominasi kalangan muda. Kalau rakyat kecil mah, tak peduli. DI hantam wabah covid19 sudah membuat kehidupannya tercerai berai.
Justru ini yang jadi perhatian Gus Nadir. Kalangan muda yang kehilangan jati diri bisa menjadi potensi ambruknya sendi-sendi NKRI di masa depan. Dalam kemudahan dan kecepatan laju informasi, Gus Nadir menuding Buzzer menjadi salah satu 'biang kerok' ketidakdewasaan masyarakat berdemokrasi dalam medsos.
Buzzer yang awalnya memiliki tujuan positif, sekarang memiliki imej negatif. Disebutkannya dalam thread, buzzer ini terorganisir lewat WAG dan tele. Sesuai arahan kakak pembina dari kedua kubu. Ada buzzer bayaran dan buzzer ideologis. Ada yang mendompleng, ada yang ikut karena iming-iming giveaway dan undian. Ada yang polos sekedar ikut-ikutan, yang kesemuanya terangkai dalam harmonisasi dibawah tagar.
Sejenak saya merenung dan mengamati. Gus Nadir di konstelasi perang tagar ini, tidak terjebak dan kemudian pingsan di tenagh peperangan. Sebaliknya, saya justru berlogika, Gus Nadir menjebakkan diri di tengah laga, semakin bergelora dan berenergi saat diserang depan belakang, kanan dan kiri. Sepertinya gaya-gaya perang ala Rambo yang mamu membabat sekompi, dua kompi tentara menjadi gaya andalannya. Gus Nadir sedang menampakkan jiwa dan karakter MERDEKA, tidak terkooptasi kepentingan kanan dan kiri.
Cukup panjang thread Gus Nadir di twitland, ada 16 cuitan. Yang penasaran silahkan klik di link  Thread Reader ini . Gus Nadir dengan menggelegar dan rambut berkibar, berkoar. Tagar yang diorkestra itu tidak alami. Tidak sehat untuk alam demokrasi. Bukan cerminan suara netijen sesungguhnya. Trending topic menjadi rekayasa.  Ini bukan survei yang berbasis metodologi ketat. Ini permainan dan perang kuat-kuatan. Mesin perang dikerahkan, ada bot, duit, bahkan GA hadiah. Gawat.
Sambil menangkis serangan Gus Nadir tetap berkoar sekaligus tertawa lebar. Perlu ada suara "waras" mengingatkan efek negatif perang tagar ini.  Perang tagar pasca pilpres menurutnya sungguh menggelikan. Jika oposisi hendak mengkritisi, harusnya disampakan secara konstrukti. Walau Pemerintah kuat di parlemen dan menguasai roda pemerintahan, tetapi menembakkan isu lewat tagar, menurutnya  tidak efektif. Karena diskusi yg cerdas tidak bisa hadir dengan perang tagar.
Bagi yang merasa waras dan terbawa menggerakkan tagar bukan karena ikut-ikutan, diingatkan Gus Nadir untuk jangan polos-polos amat bermain medsos. Jempol dan pulsa terbuang sia-sia untuk berperang tanpa makna.  Generasi waras harus menghadirkan ddan mendorong diskusi di medsos yang  lebih cerdas & kritis. Suara publik harus terjaga kewarasannya dan tidak terkooptasi  oleh buzzer bayaran.
Gus Nadir kok dilawan. Beliau maestronya. Sejak 1996 sudah biasa debat di medsos. Lihat saja, sudah berapa bukunya yang best seller ditulis dari perspektif medsos. Kalau terpancing dan emosi gara-gara cuitan Gus Nadir yang menggelegar, sambil menyibak rambut panjangnya yang berkibar-kibar diselingi tawanya yang lebar, hati-hati. Jangan sampai, kelakuan anda  akan menjadi isi dari buku best seller Gus Nadir berikutnya. Nah loh ..
alifis@corner
140520
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H