Mohon tunggu...
Alifis@corner
Alifis@corner Mohon Tunggu... Seniman - Seniman Serius :)

Sebagaimana adanya, Mengalir Seperti Air | Blog : alifis.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kisah 3 Masjid, Diminati Umat karena Sarat Manfaat

30 April 2020   23:42 Diperbarui: 1 Mei 2020   00:54 1037
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
UGM, Masjid Jogokariyan dan Masjid Siti Djirzanah (dokpri)

Di saat wabah  covid19 seperti ini, di tengah menjalankan ibadah puasa Ramadan, tempat yang paling umat muslim rindukan adalah Masjid. Karakteristik perilaku corona menjadi biang jauhnya umat dari Masjid, karena interaksi tak berjarak manusia menjadi sangat beresiko. Apalagi dipekan ini kasus terkonfirmasi positif menembus angka 10.000.

Mengapa dirindukan? Masjid merupakan sebuah pranata terpenting bagi masyarakat dan peradaban Islam sebagaimana jaman Rasulullah SAW di Madinah. Tempat segala kegiatan demi kemaslahatan umat, bangsa dan negara. Namun sayang di masa kini tidak semua masjid mampu menterjemahkan fungsinya tersebut.  Masjid menjadi bermakna sempit, dengan aktivitas sedikit. 

Sekedar tempat ibadah mahdhah seperti sholat dan mengaji, atau ramai di hari besar Islam sarat seremoni. Berbagai kegiatan yang bisa memperkuat umat atau ibadah ghairu mahdhah, yaitu ibadah interaksi sosial ekonomi masyarakat  tak tersentuh. Sehingga sebelum wabah covid19 pun masjid seperti ini kehilangan jati diri.


3 Masjid di Kota Jogjakarta ini saya kunjungi  dalam tempo 1 hari di tanggal 26 November 2019 berurutan waktu dzuhur di masjid UGM, ashar di masjid Jogokariyan dan maghrib-isya di masjid Siti Djirzanah. Saya memang sudah berencana di 2 masjid pertama sebelum menginjak Jogja, tapi masjid Siti Djirzanah adalah rejeki saya dapat bersila berlama-lama. Yang menarik dari ketiga masjid ini bukan karena kentalnya aspek sejarah. Bukan pula arsitektur bangunannya yang megah dengan ornamen yang indah. Saya lebih tertarik pada keberadaannya yang dirindukan umat karena sarat manfaat. Kehadirannya begitu terbuka, menyentuh dan hadir utuh di tengah-tengah representasi jamaah. Masjid UGM representasi masjid akademik, masjid Jogokariyan representasi masjid kampung dan masjid Siti Djirzanah representasi masjid wisata.

Dzuhur di Masjid UGM

Selesai satu acara di pagi hari, menjelang dzuhur dari kawasan monumen Jogja Kembali, saya diantar ojek online meluncur ke masjid UGM. Masuk lewat gerbang timur. Melalui tangga berundak-undak saya mendekat. Di tengah terik dan silau cahaya matahari, kemegahan gapura tak tertandingi. Semua orang sepakat ini masjid kampus yang keren. Diberitakan bahkan masjid termegah seAsia Tenggara. Saya sudah menikmatinya saat tugas belajar sekitar awal tahun 2000-an.

Di masjid UGM (dokpri)
Di masjid UGM (dokpri)

Arsitektur Jawa dipadu Timur Tengah. Dekorasi keemasan Korea berpadu marmer Tulungagung membuatnya tampak anggun sekaligus agung. Sebuah kebanggaan bagi UGM dan Jogja, karena berdirinya masjid ini atas inisiatif mahasiswa yang tergabung di Jamaah Shalahuddin. Harus diakui generasi muda lebih memiliki sikap baja ketika memperjuangkan ide-idenya. Saat ada kesempatan ke Jogja, masjid ini menjadi satu tujuan yang tak boleh terlewatkan.

Dengan konsep terbuka, kegiatan apapun bisa dilakukan di masjid ini. Jamaah tak pernah sepi. Ketika adzan berkumandang para mahasiswa dari berbagai arah datang mendekat. Duduk melepas sepatu, bergantian ambil wudlu. Masjid yang mampu menampung 5000 jamaah ini sudah menjadi rumah bagi mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah. Seluruh Indonesia.

Dibalik itu yang terpuji adalah makmurnya masjid ini dengan aktivitasnya yang tiada henti. Dari sekedar sholat, mengaji, berdiskusi, bahkan bersantai. Di setiap waktu jamaah serasa tak habis-habis jamaah datang bergelombang. Saya menikmati dengan berselonjot kaki. Memang siang hari saat jam kantor dan kuliah istirahat. Ratusan jamaah sehabis sholat pun meluruskan badan selonjoran tanpa ada yang melarang. Sebagian ada yang duduk melingkar berdiskusi, disisi lain ada yang melihat-lihat jejeran buku. Saya menikmatinya. Yang khas lagi adalah gentong wudlunya yang berjejer tenang di bawah pepohonan nan rindang.

suasana selepas sholat (dokpri)
suasana selepas sholat (dokpri)
Gentong wudlu lekat dengan kultur Jawa yang memiliki makna tempat menampung atau wadah keilmuan yang tak terbatas dan secara rutin dibagikan, disebarkan sebagai responsibiltas pada kemaslahatan umat.

Masjid UGM telah berperan sebagai think tank umat. Menjadi pusat peradaban dimana berbagai kegiatan pendidikan, pelatihan, pengajian yang diselenggarakan Takmir, Jamaah Shalahuddin, organisasi dakwah kampus, organisasi kemasyarakatan silih berganti diselenggarakan di masjid UGM ini. Budaya intelektual yang terbangun sebagai bagian dari aktivitas masyarakat akademik selalu disegarkan, diarahkan dan dipoles dengan kegiatan-kegiatan spiritual yang menyejukkan.

Tak terasa matahari mulai condong ke barat. Setelah memandang sekeliling sambil ucap syukur, saya melangkah ke tempat wudlu, membersihkan niat. Kuambil hape dan memesan ojek online. Saya harus meninggalkan masjid penuh inspirasi ini menuju masjid kedua, di wilayah selatan Jogjakarta. Masjd Jogokariyan.

Ashar di Masjid Jogokariyan

Masjid Jogokariyan (dokpri)
Masjid Jogokariyan (dokpri)
Menuju masjid Jogokariyan ini ternyata lumayan jauh berkelok-kelok. Di atas sadel ojek saya membayangkan bangunannya berarsitektur modern, sedikit dibawah levelnya masjid UGM. Setelah tiba dugaan saya meleset. Ini benar-benar masjid kampung. Sama sekali tidak istimewa dari sisi bangunan. 

Jauh lebih bagus masjid Al Mujahidin di kompleks TNI AU dekat rumah. Karpetnya kalau boleh dibilang biasa saja. Tembok sederhana dengan daun-daun jendela melengkung rendah. Halaman depan diapit gedung masjid, berderet kantor manajemen yang meliputi pemetaan, pelayanan dan pemberdayaan. 

Tak lama masuk ashar, adzan sudah terdengar. Berbondong-bondong dari ujung-ujung jalan, jamah berdatangan. Masjid yang kelihatan tidak terlalu besar ini tidak lama terlihat penuh. Saya takjub. Allahu Akbar. Persis sepert yang saya dengar.

Lebih takjub lagi, ketika dibisiki disini ada 28 divisi. Yang sebagian besarnya adalah anak muda. Itu juga tercermin dari tulisan 'MaSjiD JoG0KARIyAN" warna-warni. Orang tua tidak akan 'segila' itu menempel tulisan di dinding masjid. Saya langsung berkeyakinan ini dipenuhi anak-anak muda penuh idealisme dan terbuka. Mubalig kondang seluruh negeri sepertinya sudah diundang dan hadir di tempat ini. Kajian rutinnya diisi ustad-ustad yang mumpuni. Kerja anak muda jangan dipungkiri.

Karena jamaahnya orang kampung, program pemetaan masjid Jogokariyan sangat unik. Dengan program sensus. Database dan peta dakwahnya lebih komplit dari sensus BPS. Percaya atau tidak,  masjid punya data siapa saja yang shalat dan yang belum, yang berjama'ah di masjid dan yang tidak, yang sudah berqurban dan berzakat di baitul maal masjid, yang aktif mengikuti kegiatan masjid atau belum, yang berkemampuan di bidang apa dan bekerja di mana, dan seterusnya. Detail sekali.

Berkaitan dengan program pelayanan, kas infak masjid diprogram selalu NOL (nol besar). Jadi infak yang masuk dengan segera diimpelemtasikan dengan kegiatan layanan strategis dan taktis. Hmm. Ini membalik logika umumnya pengelola masjid. Masjid Jogokariyan juga memiliki toko souvenir. Di sayap selatan juga ada hotel masjid untuk memfasilitasi jamaah dari luar kota yang berniat beribadah lebih intens.  

(dokpri)
(dokpri)

Kalau sebelumnya saya hanya mendengar atau sekedar membaca, saat itu saya melihat dengan mata kepala sendiri. Ini masjid luar biasa makmurnya. Sebuah masjid kampung tapi kelasnya melebihi masjid agung. Kalau dikata levelnya masjid kota, tapi nyata masjid ini benar-benar mendunia. Masjid Jogokariyan. makmur, mur. 

Konsep manajemen modern masjid Jogokariyan telah mampu membalik argumentasi bahwa masjid harus mewah, megah yang justru cenderung menyedot dana infak atau sedekah dari donatur sekedar untuk pembangunan fisik / infrastruktur tapi tidak optimal dalam program pelayanan dan peberdayaan umat. Masjid Jogokariyan sederhana, tapi makmur luar biasa.

Setelah jamaah keluar agak sepi, saya sempatkan potret masjid yang sederhana ini. Tapi sarat manfaat bagi kemaslahatan umat. Saya bersyukur sudah berada di masjid Jogoariyan ini dengan sedikit mengabadikan diri. Hari menjelang sore, saya harus beranjak ke arah Stasiun Tugu untuk mencetak tiket kereta api. Sebelumnya sempatkan mampir di Malioboro. Tak kusangka kemudian bertemu dengan salah satu masjid yang fenomenal ini. Masjid Siti Djirzanah.

Masjid Siti Djirzanah

Sudah menjelang maghrib saya berjalan dari depan kantor pos menuju utara melintas kawasan malioboro. Sengaja saya jalan kaki untuk melemaskan kaki dan membeli beberapa oleh-oleh. Hari sudah aga remang, lampu-lampu sudah dinyalakan. Sesaat berjalan, pas di depan pasar Beringharjo saya tertegun melihat bangunan di seberang begitu beda. Sempit menjulang atapnya berarsitektur Cina. Daun pintunya melengkung membulat seperti lobang anak kunci. Di bagian atas terdapat tulisan Arab, Cina, Inggris. Di bagian agak bawah terbaca tulisan indah, 'Masjid Siti Djirzanah'. Masjid apa ini ? Itu pertanyaan bodoh saya.

Keingintahuan saya begitu menggoda, saya abaikan tawaran-tawaran oleh-oleh disekeliling. Kaki melangkah ke seberang. Tepat dengan mulainya kumandang adzan. Alhamdulillah rejeki. Tidak ada tempat sepatu, tapi ada puluhan tas biru tergantung. Saya amati orang-orang mengambil tas dan memasukkan sandal atau sepatunya. Ooh itu dia. Saya tiru dan ikuti. Tempat wudlu di lantai bawah, bersih dan rapi. Kulhat orang-orang menenteng tas sandal ke dalam dan ternyata di dalam sepanjang dinding tersedia bok penyimpanan.

Masjid ini tak umum. Ukurannya 4 m x15 m, sempit memanjang ke depan. Ada 17 shaf untuk sholat berjamaah. Imam sholatnya masih muda. Jamaahnya mayoritas pedagang dan wisatawan yang terjebak di keramaian malioboro. Masjid ini ramai dan selalu ramai, silih berganti orang-orang datang untu sholat. Bisa saya fahami, pedagang juga bergilir, bergantian menjaga dagangan.

Masjid Siti Djirzanah (dokpri)
Masjid Siti Djirzanah (dokpri)
Masjid ini mungkin salah satu representasi masjid mewah, mirip fasilitas hotel bintang lima. Kemewahannya mampu menyembunyikan sempit jarak dindingnya. Yang unik lokasinya menyisip di antara deretan ruko dan pedagang kaki lima. Mewahnya menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang mungkin enggan masuk di masjid belakang pasar dan dekat kantor DPRD, itupun agak berjauhan. 

Ornamen kemewahan pada masjid menurut saya akhirnya menjadi hal yang diperlukan di lingkungan seperti Malioboro. Masjid ini sangat layak bertempat di tengah-tengah kawasan malioboro. Dari yang  aslinya ruko disulap jadi masjid. Sebutlah menjadi masjid wisata. Dengan logika terbalik saya membayangan jika masjidnya biasa saja, di tengah keramaian dan keruwetan khas Malioboro mungkin minatnya agak berkurang.

Keberadaan masjid juga mampu berkontribusi meningkatkan kualitas spiritual pedagang di sekitaran Malioboro dengan mendekatkan dan memudahannya setiap saat beribadah. Agak kontras kelihatannya di deretan pedagang kakilima yang tampil sederhana hadir masjid yang mempesona.

Logika saya agak tercekat membandingkan eksistensi masjid ini. Saya teringat para Wali saat menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, mereka mendekatkan ajaran Islam dengan strategi akulturasi. Begitu juga, ketiga masjid ini mampu menyatu dan hadir utuh di lingungannya.

alifis@corner

290420

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun