Pendidikan dan cara pandang
 "Tujuan prinsip dari pendidikan adalah menciptakan manusia yang mampu melakukan hal- hal baru, tidak hanya mengulangi apa- apa yang dilakkan oleh generasi sebelumnya : manusia yang kreatif, memiliki daya cipta dan daya temu". -- Albert Einstein
Dari ungkapan Albert Einstein tersebut , kita secara sadar bisa melihat penitikberatan albert terhadap prinspip pendidikan.Â
Ia secara jelas menyebut pada prinspinya pendidikan diadakan untuk  mengolah pemikiran manusia agar memiliki kemampuan melihat sesuatu dengan cara pandang yang berbeda sehingga dari cara pandang berbeda tersebut seorang manusia memiliki pemikiran baru tentang suatu hal atau bahkan menemukan pememuan baru dari hal itu.
Sudut pandang yang secara tegas dan gamblang menolak segala bentuk kemonotonan pola belajar, dari mulai setumpuk pelajaran yang secara kurang ajar dirubah rupa menjadi angka- angka nilai yang hanya menjadi beban ajar,atau bahkan kurikulum yang sedemikian rupa mereduksi sosok guru bukan menjadi pendidik namun  hanya menjadi fasilitator dan orang penyampai informasi belaka .
Terlepas dari itu semua kita pasti berseringai bahagia apabila melihat berbagai siswa siswi Indonesia menorehkan berbagai macam prestasi di dunia.Â
Macam prestasi yang ditorehkan Yazid Rafi Akbar yang berhasil menemukan obat kanker, I made wiratatya putra mas siswa dari Denpasar bali yang mendapat special award kategori physical science dari sigma Xi ISEF ajang internasional karena penelitiannya, dan banyak anak lainnya.
Wacana diruang kelas macet
Jejaring media social ramai berseliweran sejumlah rekaman video yang menampilkan gerombolan pelajar SMK/SMA yang ikut bergabung dengan mahasiswa saat berdemo menolak UU KPK hasil revisi dan RKUHP di gedung DPR,- (Suara.com, 24/9/2019).
Akhir akhir- ini psikologis kita diganggu oleh kabar dari dunia pendidikan. Turunnya pelajar STM ke gelanggang jalanan pada aksi demo tanggal 24 september lalu  sangat menyita perhatian dari berbagai kalangan.Â
Disatu sisi barangkali tak perlu banyak alasan, cukup karena sama- sama menentang langkah pemerintah , mereka, para khalayak media social yang muak dengan kebijakan -- kebijakan konyol pemerintah beramai- ramai memuja muji aksi demonstrasi mereka. Namun sayangnya disisi lain kita melihat kekhawatiran pada  kacamata pengamat pendidikan kita terhadap fenomena itu.
Rasanya memang sah- sah saja pelajar berdemo, itu hak setiap warga Negara, namun sangat menjadi perhatian sekali apabila nyatanya mereka bergerak bukan atas dasar mereka sadar akan peggunaan hak tersebut melainkan hasil dari kecolongan peran yang  sedemikan rupa memuncak karena wacana- wacana yang seharusnya berlalu lintas di ruang- ruang sekolah tak terwadahi oleh sekolah, tegasnya pendidikan . sampai- sampai wacana tersebut harus terpaksa jalan- jalan , berlarian , berteriak- teriak di jalanan senayan.
Prof Koentjoro, Guru Besar Fakultas Psikologi UGM berpandangan bahwa demo pelajar ini bukan hal yang baru, pada tahun 1966 , di bawah komando KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesi ) para pelajar turun kejalan untuk menyuarakan Tritura yang merupakan upaya pelengseran presiden soekarno.Â
Namun pada tahun 1966 sangat wajar sekali apabila pelajar SMA bisa sampai beramai- ramai berdemo, karena pada saat itu memang pemahaman tentang partai  memang masuk sampai ke kampong- kampung tidak mengambang seperti kenyataan yang sekarang.
Back to schoolÂ
Pada masa kejayaan yunani kuno, khususnya, para cendekiawan Athena suka berkeliling untuk mengajarkan filsafat, dialektika atau orasi. Beberapa cendekiawan pada saat itu diantaranya ; Phytagoras (580-500 SM ) dan Socrates ( 469- 399 ) .
Socrates pada saat itu mendirikan sekolah yang lebih berupa perkumpulan kecil dibawah pohon. Dari perkumpulan tersebut dibahas segala macam persolan hidup, dari mulai manusia, masyarakat, dll.Â
Socrates dalam metode mengajarnya tak pernah doktrinis, ia tidak mengajarkan, melainkan menolong seseeorang mengeluarkan apa yang tersimpan dalam hatinya.Â
Ia pernah berkata" tanya jawab adalah jalan untuk memperoleh pengatahuan". Itulah permulaan dialektik. Dialektik asal katanya dialog, artinya bersoal jawab antara dua orang.
Sebab itu, metodenya disebut maieutik, menguraikan. Pola belajarnya sangat dialektis, dua arah, ia memulai dengan pertanyaan pertanyaan sederhana, mengundang beragam pikiran kemudian menyuguhkan pertanyaan yang lebih mendalam lagi, memandu pikiran- pikiran tersebut menuju sebuah definisi , definisi terus didialektikakan sampai menuju sebuah pehamanan.
Apabila kita bisa berkaca pada pola pengajaran sekolah sekarang, jauh sekali rasanya dengan sekolah model seperti Socrates, kebanyakan masih bersifat doktrinis, searah seolah susah untuk bisa berdialog dengan guru karena ada gap peran.Â
Dalam metode dialektika wacana- wacana sangatlah ditampung sekali dan tak ada sekat pengajar- pelajar, yang ada hanyalah pertukaran- pertukaran berbagai macam pikiran tanpa sekat.
Selayaknya kita sama- sama sadar, bahwa pelajar harusnya berperan dengan cara yang lebih kreatif tanpa menghilangkan substansi.Â
Nyatanya kita melihat ada yang sedang tidak beres di ruang kelas para pelajar. Wacana tak tumbuh, hingga mereka berontak berteriak  di ruas- ruas jalanan kota.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H