Mohon tunggu...
ahmed bayu
ahmed bayu Mohon Tunggu... -

Mahasiswa, mau jadi wartawan

Selanjutnya

Tutup

Nature

“Setrum” Citarum

4 Mei 2011   09:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:05 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membacai liputan ekspedisi Sungai Citarum di harian Kompas, jelas membuat pikiran saya berkali-kali seperti kena setrum. Setiap hari ada laporan baru, isinya kemurungan, kemiskinan, pencemaran, bahkan kehancuran. Saya menangkap, ekosistem di sana telah "bangkrut", dan sebentar lagi kehidupan manusianya juga menyusul. Petani-petani sulit menggarap lahan, harga susu peternak sapi tidak kunjung naik, anak sekolah terlambat berangkat karena terhalang eceng gondok di tengah perjalanan mereka melintasi situ, kampung terisolasi, kebanjiran, burung-burung pun ogah menetap.

Saya yang awam ini akhirnya tahu, sungai Citarum memberi air minum untuk 30 juta warga Jakarta, berjasa untuk hubungan listrik Pulau Jawa-Bali, malah, jadi "benteng pertahanan" musuh ketika para tokoh pejuang Indonesia tengah memersiapkan kemerdekaan di Rengasdengklok. Saya pun akhirnya sadar, ternyata ada beberapa individu yang masih berjuang keras untuk memerjuangkan Citarum. Ada yang meneliti burung, mendekati petani untuk turun gunung, mengupayakan keberlangsungan pohon kina, dan sebagainya. Benar-benar akan melelahkan pekerjaan mereka itu. Memikirkannya saja saya sangat tak sanggup. Saya hanya mampu memikirkan ucapan terima kasih kepada tim wartawan Kompas yang sudah bersusah payah merangkum peristiwa-peristiwa itu. Saya menjadi tahu dan sadar.

Ketika sedang memegang harian Kompas, saya teringat akan sesuatu. Saya ingat, tentu saja, rutinitas membaca liputan mengenai Sungai Citarum ini saya lakukan karena melihat iklan Kompas tentang adanya lomba menulis blog. Ya, pada waktu melihat iklan itulah saya berusaha setiap hari memeringati diri agar tak lupa membaca segala hal mengenai Citarum. Saya tertarik hadiah. Di belakang itu, jangankan Citarum, saya ini termasuk yang malas sekali memindahkan tempat sampah rumah yang sudah penuh ke tempat pembuangan sampah di perumahan saya. Orang-orang bilang, perlu dipisahkan itu, sampah organik dan anorganik. Tapi, saya tak pernah berusaha memahami dengan baik untuk apa dan apa manfaatnya itu dilakukan karena menilai hanya menyusahkan saja.

Luar biasa! Orang yang sangat buruk perilaku terhadap lingkungan seperti saya bisa membacai berpuluh halaman mengenai sebuah sungai legendaris yang sedang dihajar habis-habisan oleh manusia keindahannya. Luar biasa! Orang seperti saya berani-beraninya menggugat warga yang menetap di sungai Citarum dari hulu ke hilir, padahal saya sendiri sering meremehkan atau mengabaikan gugatan nurani sendiri.

Saya lihat lagi harian Kompas dengan foto Situ Cisanti, hulu dari sungai Citarum. Kemudian saya pandangi iklan menulis blog tentang Citarum. Apakah bedanya saya dengan para pengrusak di lingkungan Citarum? Kita sama-sama yang cuma berpikir keuntungan dan kebanggaan pribadi dengan cara memerkosa alam. Ya, kita selalu memerkosanya, biarpun alam berkali-kali menunjukkan rasa menolaknya dengan banjir atau longsor. Kini, Citarum dan lingkungan sekitar saya khususnya, sudah lelah diperkosa. Mereka cuma bisa pasrah. Sari-sarinya sudah habis, dan kita selalu menamparnya, menuntut dengan ganas agar mereka berguna kembali bagi kita.

Lomba blog. Kalau tidak ada itu, pastilah saya termasuk orang-orang yang mengabaikan artikel demi artikel tentang sungai terpanjang di Jawa Barat itu. Dibandingkan dengan cerita-cerita tentang sungai, saya lebih tertarik dengan NII, William-Kate, Perompak Somalia, dan yang belakangan heboh bukan kepalang, kematian Osama bin Laden. Maafkan saya, Citarum...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun