Mohon tunggu...
irwanto
irwanto Mohon Tunggu... Freelancer - Pemuda Harapan Bangsa

Pusat Penelitian dan Pengembangan Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Gadis-gadis Letih yang Terlelap dalam Kabut Lembah

23 September 2014   20:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:49 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

-Berselang lima detik suara gemuruh angin membadai bergantian tak menetu dari segala penjuru lembah. Mengiringi kebekuan malam itu, menghujamkan kepanikan tepat di jantung dengan detak yang begitu cepat. Sejenak suara longlongan anjing menggema dipantulkan tebing curam. Hanya kantung tidur [sleeping bag] yang tetap merangkul dan menjaga kehangatan mereka.-

Sebelumnya mereka telah berencana melakukan perjalanan, menjauh dari kepenatan ibu kota yang telah memanjakan otot. Ketika mendengar sebuah tempat yang tidak begitu jauh dari ruang aktifitas mereka menguras banyak ide, raut mereka penuh rasa. Rasa asam ketika mendengar cerita tentang jalur perjalanannya begitu curam dan menanjak, rasa pahit ketika harus membawa bekal, pakaian dan perlengakapan lapangan, namun jauh dari raut itu terlihat membayang rasa manis mengingat bahwa tempat itu penuh dengan cita rasa. Tempat itu berada tepat di kaki gunung bawakaraeng, dihiasi oleh tebing hijau menjulang, tidak pernah sepi oleh sorak orang-orang pencari kedamaian. Sejak dulu tempat itu dinamakan Lembah Ramma’ baik oleh warga malino maupun para penggelut alam.

Menyusuri rute perjalanan membentuk setapak, mereka melantunkan langkah kecil yang begitu lelah. Nafasnya-pun terdengar letih oleh beban yang menambah berat dan terpasang di punggung belakang mereka. Senyum kecil terlihat ketika membayangkan bahwa gambaran jalur pendakian mereka tidak semudah yang terdengar melalui cerita. Namun membuat bangga ketika beban yang mereka gendong tidak pernah seberat itu. Tetapi, harapan mereka lebih berat ketika membayangkan bahwa sejuk angin lembah akan mendinginkan otak mereka sejenak sebelum bertempur kembali dalam laporan-laporan penelitian. “Berjuang untuk sesama adalah awal dari perjuangan untuk diri sendiri”, adalah kalimat yang membuat mereka tetap mengayunkan langkah menyusuri semak belukar itu.

Ditengah perjalanan mereka selalu terdengar sapaan ramah dari kelompok lain yang mendahului langkah kecil mereka. Namun dari sapaan itu mereka tak menduga bahwa keramahan orang-orang lebih banyak terdengar dari mulut yang lelah mencari kedamaian dengan perjalanan dibandingkan melalui pragmatisme yang terbenam pada pejabat-pejabat yang mencari kedamaian dengan materi. Tidak hanya itu perjalanan mereka memberikan nilai yang begitu murni akan kekuatan ikhlas dalam pergelutan dibandingkan rasa tekanan kepada batin dalam kebebasan mengeluarkan ide. Hingga mereka pun memetik buah pelampiasan rasa kekesalan terhadap ruang hampa udara di ibu kota dan mengubur buah simalakama yang menjerat jemari mereka pada keyboard komputer.

Tidak terlintas di benak mereka bahwa, keterbatasan adalah kata yang didapatkan sejak meninggalkan rumah, namun dengan itu mengahargai keterbatasan akan berarti buat mereka kelak. Bekal yang mereka gendong di punggung akhirnya terasa ringan ketika secercah dari kedamaian yang dijanjikan itu terhembus menyejukkan keringat lelah. Senyum kecil nan semrawut tadi berubah menjadi tawa riang nan senduh ketika tujuan mereka terbias oleh mentari senja. Hingga kepegalan sendi mereka oleh langkah curam sedikit terobati dengan rentangan tangan menengadah ibarat terbang bersama badai kabut ketika melihat damai itu benar-benar ada di sudut bumi yang kita huni. Teriakan lelah-pun berubah menjadi canda riang saat mereka bersandar dan menghirup kesegaran udara yang tidak tercemar oleh asap pablik ibu kota.

14114533302005611840
14114533302005611840

Lembah ramma adalah tempat awal mereka, menginspirasi ide-ide sosial, memunculkan saran-saran bijak, menghapus tembok superior dan merangkul ke-marjinal-an menjadi resep kesetaraan. Kedamaian yang didapatkan juga telah mereka simpan pada sebuah nadi yang melintasi hati agar kelak menjadi langkah untuk mewujudkan mimpi-mimpi. Lembah ini adalah medan yang membuat mereka tau tentang arti sebuah perjalanan. Perjalanan mengalahkan seribu ego, menaklukkan emosi dan mengubur harapan yang hanya ilusi belaka. Perjalanan ke lembah ini sepertinya bukan terakhir bagi mereka, melainkan langkah awal yang tak menghentikan jejak mereka kelak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun