Siapa orang Aceh yang tak mengenal sosok beliau? Berperawakan tinggi besar, berwajah rupawan, berkarisma, berwibawa, ditambah kealiman luar biasa yang dimilikinya dan diakui oleh seluruh ulama Aceh dan lainnya. Langkahnya tegap saat berjalan, nada bicaranya tegas, tetapi penuh dengan kasih sayang. Ya, beliau adalah pendiri sekaligus pengasuh pertama Pondok Pesantren Darul Hasanah Syekh Abdurrauf Singkil, yang saya dan kawan-kawan seusia saya biasa memanggilnya dengan sapaan "Nek Abu" atau "Nek Bu" saja.
Secara langsung, saya tidak sempat belajar kepada beliau, walaupun semenjak kecil saya sudah mengenal beliau. Pada tahun 2002, ibu saya mengantarkan saya untuk mengaji di Madrasah Ibtidaiyah Swasta Darul Hasanah yang saat itu dipimpin oleh putra Nek Abu, Ust. Drs. Muhammad Waly Syam. Setiap hari, bakda Zuhur, sepulang dari pendidikan formal di sekolah dasar, saya dan hampir seluruh teman-teman sebaya di Kilangan dan desa tetangga kami kala itu, mengaji di MIS Darul Hasanah. Saya sendiri mengenyam pendidikan ibtidaiyah di sana selama enam tahun dan tamat pada tahun 2007.
Hal yang paling saya ingat dari Nek Abu adalah beliau sangat suka dan sayang kepada anak-anak. Namun, meskipun demikian, Nek Abu juga sangat tegas dalam menjalankan peraturan-peraturan pondok pesantren dan lembaga pendidikan yang berada di bawahnya. Dalam hal salat berjemaah, misalnya, tidak hanya para guru dan santri pondok yang dipantau oleh beliau, tetapi anak-anak ibtidaiyah juga. Jika waktu azan Asar sudah hampir tiba dan kami keluar dari ruang kelas, tidak ada lagi istilah bermain bola atau berlari ke sana kemari. Semua harus bersiap untuk menuju tempat wudu (wudhu') dan bersegera ke masjid (bagi para santri) dan menuju balai (bagi kami anak ibtidaiyah) untuk salat. Nek Abu sangat tegas soal itu.
Salah satu kelebihan yang dimiliki oleh beliau adalah "berjalan cepat" (saya belum menemukan kata yang lebih tepat untuk mengistilahkannya). Pernah pada saat hari olahraga dan waktu Asar hampir tiba, kami masih asyik bermain sepak bola di lapangan depan ruang kelas. Dari kejauhan, kami belum melihat tanda-tanda Nek Abu akan keluar rumah. Sekian menit kemudian, Nek Abu terlihat di depan pintu rumah beliau dan mulai berjalan dengan kecepatan biasa. “Nek Bu, Nek Bu,” kata salah seorang di antara kami untuk memberitahu kawan-kawan yang lain bahwa Nek Abu sudah akan berangkat untuk salat. Seketika semua bergegas untuk berkemas. Namun, belum sempat mengambil sendal masing-masing yang kami gunakan sebagai tanda gawang, tiba-tiba Nek Abu sudah berada dekat sekali dengan kami. Ya Allah, kaget sekali rasanya. Nek Abu hanya tersenyum dan menyuruh kami agar segera mengambil air sembahyang. Pengalaman seperti ini tidak hanya dialami oleh kami yang saat itu masih kanak-kanak. Sejumlah santri yang mondok di Darul Hasanah juga sering mengalami dan menceritakan hal demikian. Bahkan, saat itu, kami percaya bahwa Nek Bu mempunyai “kesaktian” yang membuat beliau bisa menghilang dari satu tempat ke tempat lain serta bisa tahu keadaaan dalam kelas meskipun beliau sedang berada di rumahnya, dan itu membuat kami tidak berani nakal dan berlaku macam-macam. Hihihi.
***
Secara pribadi, saya sangat mengagumi beliau. Banyaknya murid-murid beliau yang kini telah menjadi tokoh terkemuka di berbagai daerah, menjadi pengasuh pondok pesantren, imam masjid, pemimpin organisasi, maupun profesi bergengsi lainnya, menunjukkan betapa kesungguhan beliau dalam mengajar dan mendidik telah banyak membuahkan hasil. Sepanjang hidupnya, ia mendedikasikan dirinya untuk umat.
Sampai hari ini, saya masih melacak rekaman ceramah-ceramah Nek Abu, tetapi belum dapat juga. Sayang sekali jika memang sudah tidak ada kenangan tentang beliau selain foto-foto atau benda-benda peninggalan beliau.
***
Nek Abu merupakan pribadi yang sangat baik dan bersahaja. Ia selalu mendoakan siapa saja, terlebih anak-anak kecil yang dijumpainya. Pada tahun 2005, saat usia saya belum genap 10 tahun, kami sempat tinggal di Pondok Pesantren Darul Hasanah di dalam tenda-tenda pengungsian selama lebih kurang tiga bulan akibat gempa bumi yang memorak-porandakan rumah dan bangunan-bangunan di Kecamatan Singkil dan sekitarnya pada 28 Maret 2005 silam. Dengan senang hati Nek Abu menerima dan mempersilakan masyarakat yang datang mengungsi akibat lindu dahsyat yang mengguncang Singkil pada malam Selasa itu. Ruang-ruang kelas, balai, dan teras masjid penuh sesak menampung masyarakat yang ingin menyelamatkan diri dalam keadaan ketakutan.
Pada suatu subuh, saya buru-buru keluar dari tenda agar bisa salat Subuh berjemaah bersama Nek Abu di masjid. Setelah berwudu, saya kemudian masuk ke dalam masjid dan ternyata Nek Abu sudah lebih dahulu berada di masjid. Nek Abu melihat saya yang tidak mengenakan peci dan seketika memanggil saya, “Hai, mano peci, Nak?” kata beliau. Saya gugup, tapi saya jawab, “Tingga di tenda, Nek Bu,” kata saya sambil tersenyum. Nek Abu hanya tertawa kecil sambil mengusap-usap kepala saya. “Bak batuah waang yo, Nak,” kata beliau. “Lain kali pakai peci,” tambah Nek Bu. Saya mengangguk. Doa yang sama juga sering beliau panjatkan kepada anak-anak kecil lain yang dijumpainya.