Mohon tunggu...
Irwan Syahputra Lubis
Irwan Syahputra Lubis Mohon Tunggu... Lainnya - hamba Allah; pendosa, pencinta santri dan ulama

Rezpector, pLettonic, OI, dan Kawan Fiersa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengaji bersama Serban Bang Ifit

9 Oktober 2021   17:24 Diperbarui: 10 Oktober 2021   10:43 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengajian tadi malam belum usai ketika Bang Rahmat datang ke Posko I‘tisham Billah yang berada di Desa Kilangan. Bagai terburu-buru, ia meminta izin kepada kami untuk mengambil kunci sepeda motor, serban, dan tasbih yang terletak di lantai dekat pintu sorong posko.


Manyasak ulu atinyo tadi, tapi kini alah mulai lapang (tadi ulu hatinya menyesak, tapi sekarang sudah mulai lega),” kata Bang Rahmat kepada kami. Orang yang dimaksud ternyata Bang Ifit, adik kandungnya, yang juga jemaah tetap MPTT-I Aceh Singkil. Tak sampai lima menit, setelah mengabarkan bahwa Bang Ifit sudah agak mendingan, ia pun pamit dan membawa kunci, serban, dan tasbih milik adiknya itu.

***


Tadi malam, sehabis bertawajuh dan salat Isya di Pondok Pesantren Darul Hasanah, saya dan beberapa orang kawan singgah di posko (tempat pengajian) yang letaknya tak begitu jauh dari pondok. Adik saya, Muhammad Haris Lubis, yang semula akan pergi main futsal bersama beberapa orang temannya, tak jadi berangkat lantaran ikut mengaji bersama Wali. Selain Wali, terhitung ada sebelas orang kami yang ikut mengaji.


Pengajian semalam terasa santai saja. Secerek kopi, belasan air minum dalam kemasan, dan tiga piring pisang goreng, tersaji di hadapan kami. Setelah mendengarkan pembacaan makalah Abuya, kemudian menyimak tanggapan mengenai makalah yang berjudul “Kehidupan yang Baik” tadi, Guru kami, Ustaz Isnin, yang kerap kami sapa ‘Wali’, mengisi pengajian sebagaimana biasa.


Wali menjelaskan tiga tingkatan murid (jemaah), kemudian menguraikan fadilah salat berjemaah dalam pandangan tasawuf dengan jelas dan sederhana. Terakhir, Wali mengetes bacaan surah Fatihah tiga orang di antara kami.


Hanya berlangsung lebih kurang 25 menit, Wali kemudian menyuruh Heru untuk berselawat, menandai berakhirnya pengajian. Mi goreng yang kemudian disajikan Rahmat, Irfan, dan Ardi, segera kami santap dengan lahap. Tersisa beberapa piring lantaran mi yang dimasak ternyata cukup banyak. Tak lama kemudian, Mak Imus pun datang dan menyalami Wali. Kami mengira bahwa mi yang masih tersisa tadi akan bertuan. Namun, rupanya tidak. Tujuan kedatangan Ketua Pasukan Khadam Ummat itu justru untuk menyampaikan berita duka: Bang Ifit meninggal dunia. Innalillahi wa inna ilaihi raji‘un.


Kami semua terkejut, tak menyangka orang yang biasa dipanggil keponakannya dengan sapaan ‘Pak Bong’ itu berpulang tiba-tiba. Ya Allah. Sejenak, kami semua saling tatap, seakan tak percaya pada kabar yang baru saja dibawa Mak Imus. Sejurus kemudian, kami semua berdiri, bersiap menuju kediaman orang tua almarhum yang jaraknya juga tak seberapa jauh dari posko.


Benar saja, di rumah orang tua almarhum, puluhan orang tetangga telah berdatangan. Keluarganya menangis, begitu pun orang-orang terdekat almarhum yang begitu terkejut dengan kabar kepergian almarhum yang terbilang mendadak.
Wali kemudian duduk di sisi kiri almarhum yang telah terbujur kaku. Dengan berlinang air mata, Wali kemudian memimpin zikir serta doa.


***

Kemarin sore, menurut pengakuan beberapa orang yang sempat berjumpa dengan almarhum, semua berjalan dan terasa seperti biasa. Almarhum sempat menongkrong di salah satu warung kopi yang ada di Jalan Rintis, Desa Ujung, Singkil.


Menjelang magrib, almarhum bergegas dan bersiap untuk salat berjemaah dan mengikuti rutininas tawajuh setiap malam Sabtu di Pondok Pesantren Darul Hasanah Syekh Abdurrauf Singkil di Desa Kilangan. Tak lupa, almarhum mengajak beberapa orang sahabat yang dilihatnya masih duduk-duduk di warung.


Setelah sempat mengikuti pengajian sebelum Magrib, dilanjutkan dengan salat berjemaah, almarhum merasakan sakit yang begitu hebat di dadanya. Irfan, yang melihat almarhum tidak seperti biasanya, segera menuntun almarhum keluar dari masjid menuju permakaman Abuya pendiri Ponpes Darul Hasanah dan terbaring lemas di sana.


“Allah, Allah, Allah,” kata almarhum kesakitan sambil memegang dadanya. Keringatnya berkucuran, dari ujung kaki sampai kepala. Baju dan sarung yang dipakai almarhum pun basah karena peluh. “Allah, Allah, Allah,” kata almarhum mengerang.


Almarhum meminta Irfan agar mengobatinya dan mendoakannya. Irfan yang tidak tahu harus melakukan apa, menciduk air dari kimo dekat makam Buya, mengusapkannya tiga kali ke nisan, lalu menciduk air lagi dan mengusapkannya ke dada almarhum sembari berabithah dan membacakan selawat.


“Allah ...,” kata almarhum lagi. Kali ini sakitnya terasa berkurang. Singkat cerita, Irfan mengajak almarhum untuk pulang, tetapi almarhum menolak.


Indak. Sio-siolah ambo datang ka siko, Pan. Dari sabalum Magrib tadi ala di siko ambo. Kalau ndak tawajuh, rugi bana ko (Tidak, ah. Sia-sia kedatanganku kemari, Pan. Dari sebelum Magrib sudah di sini. Kalau tidak ikut tawajuh, rugi sekali),” kata almarhum kepada Irfan.


Irfan pasrah. Mereka berdua kembali masuk ke masjid. Setiba di masjid, lampu-lampu sudah dipadamkan, ibadah tawajuh segera dilaksanakan.

***


Selepas tawajuh dan salat Isya, saya tak melihat Bang Ifit. Rupanya--dari penjelasan seorang teman--ia telah sampai ke rumah dengan berjalan kaki, setelah sebelumnya sempat singgah di beberapa tempat.
Sepeda motor yang tadi dikendarainya untuk berangkat ke pesantren, serban, dan tasbih miliknya, masih tertinggal di pondok. Barang-barang tersebut kemudian dibawa oleh Irfan ke posko.


***


Sekitar pukul setengah sepuluh tadi malam, Bang Ifit mengembuskan napas terakhir di sebelah rumah orang tuanya di Desa Ujung, Singkil, tempat ia sempat dirawat untuk beberapa saat. Tanpa riwayat penyakit serius, Allah memanggil Bang Ifit dengan sangat indah.


Demikianlah Bang Ifit, dengan segala kekurangan dan keterbatasan, ia menjadi sosok yang dicintai dan disayangi oleh berbagai usia dan kalangan. Anak-anak, remaja, orang tua; para pegawai negeri, pekerja bangunan, tukang becak, para ustaz, dan lainnya, menaruh simpati dan rasa hormat kepada sahabat kami yang satu ini.


Ia pandai menempatkan diri di masyarakat dan senang membantu orang lain. Canda dan tawanya yang khas, kebaikannya yang dilakukan secara ikhlas, membuat banyak orang sayang kepada Bang Ifit.


Aku bersaksi bahwa engkau HUSNUL KHATIMAH, hatimu baik, tak pernah membuat sakit hati orang lain, saat aku galau kau datang membuat aku gelak [tertawa]. Selamat jalan, Pejuang MPTT,” tulis Wali dalam status Facebook-nya.


***


Kunci (serta) sepeda motor, serban, dan tasbih milik Bang Ifit, ikut mengaji bersama kami malam tadi--walau tidak sampai selesai karena ketiga barang tadi kemudian dijemput untuk menemani pemiliknya yang hendak “dijemput”.
Semangat yang tinggi, himmah (kemauan) yang memuncak, serta keikhlasan tak bertepi yang kau miliki, semoga dapat kami contoh dan teladani.


Selamat jalan, Sahabat. Selamat jalan, Pejuang. Selamat jalan, Bang Ifit. 


Al-Fatihah.


Darul Mahabbah, 9 Oktober 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun