Berdasarkan perjalanan sejarah pertanahan Indonesia berjalan secara dinamis, memunculkan permasalahan tanah ditengah-tengah masyarakat dimana masalaha tersebut tidak lepas dari peran penjajah dalam menerapkan kebijakan kepada masyarakat pribumi, sehingga penguasa atau penjajah menjadi salah satu pijakan untuk mereformasi agraria/pertanahan di Indonesia
Menengok kebelakang bahwa pada zaman belanda dibidang pertanahan Indonesia menerapkan kebijakan upeti kepada masyarakat Indoonesia, dimana masyarakat yang menggarap/membajak tanah harus menyetorkan kepada penguasa
Berdasarkan kebijakan upeti tersebut berbeda dan diubah pada masa penguasaan Inggris pada tahun 1860 dengan menerapakan system sewa tanah (Landrent), sebab tanah itu milik penguasa maka dapat disewakan kepada masyarakat/para petani, sehingga masa itu sudah memunculkan kebijakan membukukan tata administrasi tanah dengan istilah letter baik letter A hingga letter H, akan tetapi sampai sekarang yang masih diakui letter C.
Berdasarkan kebijakan-kebijakan yang diterapakan oleh penguasa/penjajah kepada masyarakat Indonesia sedikit banyak diambil pembelajaran bagi pemerintah Indonesia dan lebih mengambil sisi positif dari kebijakannya.
Mengingat prinsip pertanahan Indonesia menganut asaz konkordanssi artinya kebijakan atau peraturan yang pernah dibuat oleh penjajah kepada masyarakat Indonesia sebagian di anut oleh pemerintah Indonesia
Terbukti bahwa asaz konkordansi dimuat dalam ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria serta turunan dari UUD 1945,yang terdapat dalam pasal 33 ayat 3, "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakayat".
Ketentuan tersebut mengandung filosofi bahwa Negara mempunyai niatan untuk mencapai sebuah tujuan dan cita-cita Negara dibidang pertanahan, sehingga ketentuan dalam UUD 1945 diimplementasikan kedalam UUPA no. 5 Th 1960. Kemudian dari pada itu memunculkan peraturan terkait dengan macam pertanahan Indonesia seperti Hak Guna Bangunan ( HGB), Hak Guna Industri (HGI), Hak Guna Usaha (HGU).
Peraturan pokok agrarian yang diterbitkan itu sampai sekarang masih berlaku sebagai salah satu acuan untuk mengatur system tanah Indonesia, namaun sayangnya setiap periode kepemimpinan pemerintah selalu berganti sehingga tidak maksimal.
Berdasarkan kebijakan yang diambil oleh pemerintah dari masa ke masa berganti, berdasarkan kepentingan masing-masing misalkan pada masa BJ. Habibie, berencana akan menerapkan kebijakan redistribusi asset pertanahan atau mereformasi dibidang pertanahan supaya untuk meminimalisir permasalahan didunia agraria
Berbeda dengan klebijakan yang diterapakan oleh pemerintahan SBY, dimana pada masa itu menerapkan kebijakan dalam peraturan Rancangan Undang-Undang Pengadaan Lahan Untuk Pembangunan Bagi Kepentingan Umum (RUU Pengadaan Lahan) dimana kental kepentingan pengusaha yang memerlukan lahan untuk berbagai proyeknya, yang berdampak pada masyarakat yang cenderung memihak pada investor dan hak-hak kepemilikan pada masyarakat kurang diperhatikan, akan tetapi misi tersebut juga menginginkan pada dampak positif pada pembangunan infrastruktur
Berbeda juga dengan masa pemerintahan Bpk. Jokowi dimana pemerintahannya menerapkan system hulu dalam bentuk redistribusi tanah, maupun di hilir dengan langkah legalisasi dalam bentuk sertifikat tanah, sebenarnya tidak berbeda jauh dengan sebelumnya, akan tetapi terkadang system tersebut mempunyai sisi positif dan negative, disisi lain dapat menghasilkan kepastian status kepemilikan tanah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H