Pandemik Covid19 yang telah menarik banyak perekonomian banyak negara di dunia ke jurang resesi, termasuk Indonesia, juga telah membuat jurang ketimpangan perekonomian semakin melebar.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa gini ratio bulan September 2020 mencapai 0,399 poin, naik 0,008 poin dibandingkan Maret 2020.
Hal ini, menurut Kepala BPS Suhariyanto, disebabkan oleh merosotnya konsumsi masyarakat lapisan bawah lebih cepat dibandingkan lapisan masyakat lain.
Ketimpangan tertinggi terjadi di Propinsi Yogyakarta dengan angka 0,403, sedangkan yang terendah di Propinsi Bangka Belitung dengan gini ratio 0,262.Â
Pandemik Covid19 ini hanya satu dari banyak faktor penyebab kenapa ketimpangan ekonomi di dunia semakin hari semakin menganga. Para ahli berpendapat bahwa faktor penting yang menyebabkan ketimpangan adalah adanya pergeseran struktur rumah tangga. Dimana pergeseran ini menyebabkan jumlah rumah tangga dengan orang tua tunggal, ayah atau ibu saja (single parent household) semakin besar.
Dalam 20 tahun jumlah single-headed household bertambah dari 15% pada tahun 1980 menjadi 20% pada tahun 2020. Dengan menggunakan data survey penduduk, Wilcox dan Lerman, menmenukan bahwa dari tahun 1980 sampai 2012 nilai tengah pendapatan keluarga dengan ayah dann ibu tumbuh 30% sedangkan keluarga dengan orang tua tunggal hanya tumbuh kurang dari setengahnya, 14%.
Oleh karena itu rumah tangga dengan single parent terutama single mother rentan terhadap kemiskinan. Selain itu, anak dari rumah tangga single parent juga cenderung menghadapai masalah perilaku dan kesulitan memperoleh prestasi akademik. Dimana hal ini bisa berimbas pada kualitas sumber daya manusia yang tidak berkualitas (low skilled human resources) sehingga sulit memperoleh pekerjaan dengan bayaran yang layak. Bahkan, menurut ekonom dari Harvard Nadarajan "Raj" Chetty faktor paling kuat yang menyebabkan aliran ekonomi dari masyarakat bawah ke masyarakat atas adalah semakin meningkatnya single-headed household.
Selain itu, penyebab lain ketimpangan adalah adanya disparitas terhadap akses pendidikan yg berkualitas. Sulitnya akses masyarakat lapisan bawah terhadap pendidikan berkualitas membuat masyarakat ini tidak memiliki keahlian yang cukup dan diperlukan oleh pasar kerja (low skilled worker).
Kondisi seperti ini membuat masyarakat lapisan bawah tidak mempunyai daya tawar untuk mendapatkan penghasilan yang cukup. Walhasil kesejahteraan mereka tetap dalam kondisi yang menghawatirkan. Sebaliknya, mudahnya akses terhadap pendidikan yang dimiliki kalangan lapisan bawah menyababkan mereka menjadi pekerja yang berkualitas tinggi (high skilled worker) dan dibayar dengan bayaran yang tinggi pula.
Fenomena Rent-Seeking, sebagaimana diungkapkan oleh ekonom Joseph Stiglitz, juga memberikan dampak signifikan terhadap ketimpangan. Rent-seeking adalah kondisi dimana sebuah kekuatan politik misal dari sekelompok pengusaha dimana mereka mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah. Sering kali kebijakan ini menguntungkan kelompok tersebut dan merugikan masyarakat.
Hal ini rentan banyak terjadi dibanyak negara, mungkin juga termasuk Indonesia. Dimana pemerintah berhutang budi misal para pengusaha tersebut membiayai saat dia kampanye. Sehingga sebagai bentuk balas jasa, pemerintah memberikan imbalan baik berupa imbalan, proyek atau kebijakan yang tidak pro masyarakat kecil dan hanya menguntungkan kalngan atas tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H