Senja itu, seperti biasa selepas sholat Ashar, aku menjemput sulungku di sekolahnya. Saban hari aktivitasku menjemputnya saat sore hari, karena ia kelas full day. Setibanya di depan sekolahnya, kuparkir kendaraan agak menepi karena jalan memang agak sedikit sempit. Khawatir menghalangi kendaraan yang lalu lalang di jalan tersebut. Kulihat jam telah menunjukkan pukul 16.14. Aku pun bergegas menuju ke kelasnya sambil memanggilnya. "kakak".Â
Tak lama berselang, kulihat ia tampak mulai keluar mengambil sepatunya di teras kelas lalu menghampiriku. Namun, ada yang tak lazim dengan sulungku. Tidak seperti biasanya. Ia tampak lemas tanpa semangat. Pelupuk matanya sembab. Masih tampak sedikit sisa air mata yang membasahi sebagian wajahnya yang tertunduk lesu. Padahal, selama ini pemandangan ini sama sekali tidak pernah terlihat sebelumnya. Ia selalu tampak ceria saat kujemput dari sekolahnya. Riang gembiranya saat itu sirna entah kemana.
 Aku sedikit tertegun dan prihatin  melihatnya. Kutatap wajahnya dalam-dalam. Kucoba menenangkan diri sambil merangkulnya tanpa sedikitpun berbicara dalam beberapa saat. Berharap agar sulungku yakin ada bapaknya yang selalu setia mendukungnya. Kuraih tas dan lengannya sambil berjalan menuju ke mobil yang terparkir di luar sekolah.
Selang beberapa saat, aku pun mulai mengajaknya berbicara.Â
"Kenapa nak, Bapak lihat kakak menangis. "tanyaku penuh harap.
 Sulungku sama sekali tak menjawabnya. Ia hanya membisu. Kubiarkan sesaat, mungkin sulungku masih belum mau berbicara. Pikiranku pun berkecamuk. Apa gerangan yang membuatnya menangis. Kucoba bersabar sambil kuulangi lagi.Â
"Kakak tidak mau cerita sama bapak ya, ada apa nak?" tanyaku dengan lembut.Â
"Saya dihukum bu guru" jawabnya terbata-bata
"Kakak dihukum apa"? tanyaku kembali sambil mengerucutkan dahi
"Disuruh pungut sampah 200" Jawabnya sambil menahan isak tangisnyaÂ
Akupun menghela napas panjang. Rupanya tangisnya bukan karena ia habis terjatuh atau sakit perut seperti yang ada dalam benakku tadi.