Mohon tunggu...
Irwan Sajati
Irwan Sajati Mohon Tunggu... -

Seorang politbiro dari proletar yang mencoba mempelajari revolusi dan mewujudkannya, Lembaga Pengkajian dan Pengabdian Masyarakat Demokratis (LPPMD) 'Cendikia Mahardika Bumi Padjajaran' XXIV Unpad 2011

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pilih Kapabiltas Bukan Tentang Ideologi

26 Maret 2014   19:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:26 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilu menjadi topik hangat dimedia saat ini, hal ini menjadi sorotan utama bagi akademisi, politisi, pengamat dan orang-orang yang tidak jelas. Ceritanya nihil memang, ketika “si cerdas” dengan inisial (C) melontarkan tuduhan seakan-akan menjatuhkan partai maupun orang yang ada dipartai tersebut dengan menyebutkan nama. Urat “si agamis” (A) tak mau kalah dengan yang lain, mulutnya membusa dengan fatwa “kafir” jika memilih tidak sesuai agama yang dianut, sementara “si komunis” (K) hanya diam karena dari kaumnya sendiri tidak ada yang mencalonkan, alasannya selain biaya yang mahal untuk mengikuti pemilu disebabkan pula telah lama hilang karena terjerat kasus konspirasi oleh penguasa yang bertolak belakang dengan pahamnya pada saat itu. Percakapan yang dimulai terlihat jelas ada keberpihakan pada partainya secara gamlang namun karena pikiran yang terbuka mereka dapat menerima argumen masing-masing.

C: Sebagai kaum intelektual kita harus menjadi pemilih yang cerdas, berdasarkan survei si merah, kuning, hijau, partai paling korup.

A: Bisa saja ada setan yang menjelek-jelekan partai kami dengan data survei yang palsu, mana buktinya?

C: Saya dapat membuktikan berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan, anda lihat saja lampu merah yang dijual pada supir kendaraan umum untuk ngetime (cari penumpang) walau ada tanda S dicoret.

A: Astagfirullah! itu rambu lalu lintas kirain warna partai saya haha…tapi bener juga sesungguhnya yang demikian itu termasuk melampaui batas aturan.

K: Memang ‘sama rasa sama rata’ apa yang kita rasa dan kita dapatkan mau pemimpin nasionalis, agamis, komunis tidak ada revolusi bagi kaum tani dan buruh.

A: lho bukannya lu pro komunis?

K: saya tidak spenuhnya komunis secara integral, hanya hal mengenai ‘memanusiakan manusia’ itu pemimpin yang saya pilih walau bersebrangan paham.

C: Anda itu plin-plan tidak berideologi

K: Memilih ideologi itu tidak hanya satu, karena apa yang termaktub tidak seiya sekata apa yang dituju tidak sesuai perbuatan jadi wajar punya lebih dari satu ideologi.

C: Ada benarnya juga apa yang anda katakan, dari zaman kemerdekaan sampai reformasi orang yang memimpin kita bisa dikatakan kaum intelektual namun tetap saja ada ketimpangan.

A: Baik-buruk, benar-salah itu suratan takdir, hanya sistem khilafah yang akan menyelamatkan dari fitnah dajjal.

K : Sudah saya kemukakan ideologi tersebut hanya menjadi kendaraan politik saja, jika murni menganut ideologi sepenuhnya anda nyontek yang termasuk kategori mencuri harusnya dipotong tangan.

C : Secara empiris anak petani (proletar) pernah menjadi presiden namun diktator, fasis dan tidak membela rakyat malah menjual negeri ini kepada pihak imperialis.

A: Selemah-lemahnya Negara tidak harus menjual apalagi mendzalimi hak tiap warga negaranya

Hasil perbincangan yang nihil membuat mereka berfikir kembali untuk memilih maupun mendukung partainya, secara implisit mengatakan pada kita agar saling menghargai masing-masing prinsip yang kita punya karena semuanya bersifat relatif tidak ada yang absolut selama sesuatu itu berhubungan dengan duniawi, Indonesia akan berjaya apabila komunis, islam, nasionalis dan paham lain bersatu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun