Pemilu menjadi topik hangat dimedia saat ini, hal ini menjadi sorotan utama bagi akademisi, politisi, pengamat dan orang-orang yang tidak jelas. Ceritanya nihil memang, ketika “si cerdas” dengan inisial (C) melontarkan tuduhan seakan-akan menjatuhkan partai maupun orang yang ada dipartai tersebut dengan menyebutkan nama. Urat “si agamis” (A) tak mau kalah dengan yang lain, mulutnya membusa dengan fatwa “kafir” jika memilih tidak sesuai agama yang dianut, sementara “si komunis” (K) hanya diam karena dari kaumnya sendiri tidak ada yang mencalonkan, alasannya selain biaya yang mahal untuk mengikuti pemilu disebabkan pula telah lama hilang karena terjerat kasus konspirasi oleh penguasa yang bertolak belakang dengan pahamnya pada saat itu. Percakapan yang dimulai terlihat jelas ada keberpihakan pada partainya secara gamlang namun karena pikiran yang terbuka mereka dapat menerima argumen masing-masing.
C: Sebagai kaum intelektual kita harus menjadi pemilih yang cerdas, berdasarkan survei si merah, kuning, hijau, partai paling korup.
A: Bisa saja ada setan yang menjelek-jelekan partai kami dengan data survei yang palsu, mana buktinya?
C: Saya dapat membuktikan berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan, anda lihat saja lampu merah yang dijual pada supir kendaraan umum untuk ngetime (cari penumpang) walau ada tanda S dicoret.
A: Astagfirullah! itu rambu lalu lintas kirain warna partai saya haha…tapi bener juga sesungguhnya yang demikian itu termasuk melampaui batas aturan.
K: Memang ‘sama rasa sama rata’ apa yang kita rasa dan kita dapatkan mau pemimpin nasionalis, agamis, komunis tidak ada revolusi bagi kaum tani dan buruh.
A: lho bukannya lu pro komunis?
K: saya tidak spenuhnya komunis secara integral, hanya hal mengenai ‘memanusiakan manusia’ itu pemimpin yang saya pilih walau bersebrangan paham.
C: Anda itu plin-plan tidak berideologi
K: Memilih ideologi itu tidak hanya satu, karena apa yang termaktub tidak seiya sekata apa yang dituju tidak sesuai perbuatan jadi wajar punya lebih dari satu ideologi.
C: Ada benarnya juga apa yang anda katakan, dari zaman kemerdekaan sampai reformasi orang yang memimpin kita bisa dikatakan kaum intelektual namun tetap saja ada ketimpangan.
A: Baik-buruk, benar-salah itu suratan takdir, hanya sistem khilafah yang akan menyelamatkan dari fitnah dajjal.
K : Sudah saya kemukakan ideologi tersebut hanya menjadi kendaraan politik saja, jika murni menganut ideologi sepenuhnya anda nyontek yang termasuk kategori mencuri harusnya dipotong tangan.
C : Secara empiris anak petani (proletar) pernah menjadi presiden namun diktator, fasis dan tidak membela rakyat malah menjual negeri ini kepada pihak imperialis.
A: Selemah-lemahnya Negara tidak harus menjual apalagi mendzalimi hak tiap warga negaranya
Hasil perbincangan yang nihil membuat mereka berfikir kembali untuk memilih maupun mendukung partainya, secara implisit mengatakan pada kita agar saling menghargai masing-masing prinsip yang kita punya karena semuanya bersifat relatif tidak ada yang absolut selama sesuatu itu berhubungan dengan duniawi, Indonesia akan berjaya apabila komunis, islam, nasionalis dan paham lain bersatu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H