Saat ini pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di Indonesia, termasuk di Aceh, yang masa jabatan kepala daerah (KDh)-nya berakhir tahun 2022, salah satunya disibukkan dengan penyusunan Rencana Pembangunan Daerah (RPD) periode 2023-2026. Sesuai Instruksi Menteri Dalam Negeri (MDN) No.70 Tahun 2021, pada Diktum Ketiga, dinyatakan RPD Provinsi harus segera disahkan dengan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) paling lambat minggu pertama Maret tahun 2022 dan RPD kabupaten/kota paling lambat minggu kedua di bulan dan tahun yang sama. Itu artinya, dokumen RPD harus cepat saji dengan menu-menu yang mampu mengatasi berbagai persoalan dan isu strategis di daerah di masa Pj KDh. Harus diakui, itu kerjaan yang menguras pemikiran yang tinggi untuk menghasilkan dokumen RPD yang berkualitas. Lalu, apa itu RPD?. Adakah ia-nya berbeda dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPMJD) yang lazimnya dijadikan acuan pemerintah daerah selama ini. Diakhir tulisan ini mengungkap juga secercah harapan pada Rencana Pembangunan Aceh (RPA) 2023-2026.
RPJMD vs RPD Â Â Â
UU No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), menjadi acuan dasar bagi pemerintah daerah dalam menyusun dokumen perencanaan pembangunan daerah. Dalam UU tersebut disebutkan dokumen perencanaan daerah, terdiri atas rencana pembangunan jangka panjang daerah (RPJPD), RPJMD, dan rencana pembangunan tahunan. RPJPD dimaknai  dokumen perencanaan untuk periode 20 (dua puluh) tahun. Lebih lanjut, RPJPD memuat visi, misi, dan arah pembangunan daerah yang mengacu pada RPJP Nasional (Pasal 5, ayat 1). Itu artinya RPJPD adalah dokumen induk perencanaan daerah dan sebagai pedoman dalam penyusunan RPJMD (Pasal 5, ayat 2).  Karena sifatnya jangka panjang, dokumen RPJP sering dikesampingkan. RPJP hanya dipajang pada landasan hukum penyusunan dokumen perencanaan, namun tidak dipahami secara komprehensif makna arahan kebijakan pembangunan setiap periode lima tahunan. Kebanyakan para pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan lebih tertuju pada dokumen RPJMD karena bersifat operasional, ada pagu anggaran, dan memuat prioritas program pembangunan untuk setiap SKPK.   Â
Jika ditelusuri secara mendalam, UU No.25/2004 dibuat dilandasi semangat reformasi yang memadukan pendekatan politik, teknokratik, partisipasif, atas-bawah (top-down) dan bawah-atas (bottom-up) dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan daerah. Misalnya, pendekatan politik dimana program pembangunan yang ditawarkan KDh terpilih saat kampanye pemilu dijabarkan ke dalam RPJMD. Hakekatnya adalah rakyat menentukan pilihan pada KDh terpilih atas tawaran program pembangunan yang dijanjikan saat kampanye. Ini tersirat secara jelas dari dokumen RPJMD yang memuat Visi dan Misi serta program KDh yang dijabarkan ke dalam strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, program prioritas KDh, dan arah kebijakan keuangan daerah. Bisa dikatakan RPJMD merupakan penjabaran janji-janji politik yang kemudian diselaraskan dengan dokumen perencanaan atasnya (RPJPD dan RPJM Nasional). Inilah yang berbeda dengan dokumen perencanaan era sebelumnya, seperti dokumen Program Pembangunan Daerah (Propeda) berjangka waktu lima tahun. Proses penyusunan dokumen tersebut tanpa pendekatan politik, atas-bawah (top-down), dan bawah-atas (bottom-up).Â
Lalu, bagaimana dengan RPD yang saat ini sedang disusun oleh beberapa Pemerintah Provinsi dan Pemerintah kabupaten/kota di Indonesia, termasuk Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/kota di Aceh. Â Jika mengamati arahan intruksi MDN, pada Diktum Kesatu, dokumen perencanaan jangka menengah periode 2023-2026 dinyatakan secara tegas sebagai RPD periode 2023-2026, baik untuk provinsi maupun kabupaten/kota. Itunya artinya RPD sama dengan RPJMD, baik untuk provinsi maupun kabupaten/kota. Meskipun ini dianggap sama dengan RPJMD, namun dalam proses penyusunan dokumen RPD telah menghilangkan pendekatan politik, salah satu poin penting yang diamanatkan UU No.25/2004. Tidak ada Visi, Misi, dan janji politik KDh yang dijabarkan dalam RPD periode 2023-2026. Dengan kata lain, substansi utama atau 'roh" dari perencanaan jangka menengah sesuai UU No.25/2004 tidak tersirat dalam RPD. Â Memang diakui bahwa RPD ini pun muncul atas dasar mengisi kekosongan dokumen perencanaan akibat terjadinya pergeseran Pilkada yang seharusnya dilaksanakan pada tahun 2022, digeser dilaksanakan secara serentak tanggal 17 Nopember 2024 (CNN, 25/1/2022). Dengan demikian, dokumen RPD yang saat ini disusun sudah pasti tidak memuat Visi dan Misi KDh. Ini pun membuat perencanaan yang disusun mengabaikan aspirasi masyarakat yang sejatinya disalurkan melalui KDh terpilih. Bahkan, substansi RPD tidak berbeda jauh dengan Propeda (dokumen perencanaan sebelum UU No.25/2004)
Ini juga terlihat secara jelas dalam sistematika penyusunan RPD (sesuai instruksi MDN), yang tidak mencantumkan visi dan misi. Implikasinya juga tidak ada prioritas program KDh dan ukuran indikator kinerja utama (IKU) atas pencapaian visi. Tentu ini juga yang membuat berbeda dengan RPJMD. Sepintas terlihat RPD memuat pendahuluan, gambaran umum, gambaran keuangan daerah, permasalahan dan isu strategis, tujuan dan sasaran, strategi, arah kebijakan, dan program prioritas, kerangka pendanaan pembangunan dan program perangkat daerah, kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah, dan penutup.
Dengan dalih menekan efisiensi anggaran, atau "pesta demokrasi" lebih penting dari perencanaan,  pada prinsipnya pemerintah telah mengabaikan konsep perencanaan sesuai regulasi UU No.25/2004.  Padahal UU tersebut telah mengatur tahapan proses perencanaan pembangunan yang komprehensif, termasuk dalam konteks mengisi kekosongan perencanaan atau masa transisi. Misalnya, RPJMD, untuk pelaksanaan musrebang saja paling lambat harus dilaksanakan 2 (dua) bulan setelah dilantik KDh  (Pasal 17, ayat 2). Demikian juga dengan penetapan RPJMD,  paling lambat 3 (tiga) bulan setelah dilantik KDh (Pasal 19, ayat 3). Itu artinya, seiring berakhirnya masa jabatan KDh, maka Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dapat melaksanakan penyusunan awal RPJMD (pendekatan teknokratik). Dengan kata lain, waktu yang relatif singkat pasca KDh dilantik dapat dioptimalkan guna menghasilkan dokumen RPJMD yang menjadi pedoman bagi KDh dan seluruh pemangku kepentingan dalam pelaksanaan pembangunan selama lima tahun. Dengan demikian, sesuai perintah UU tersebut, dipastikan tidak terjadi kekosongan dokumen perencanaan pembangunan daerah. Â
Disisi lainnya, dalam proses penyusunan RPD ini, tidak mendapatkan "tekanan" Â dari "Timses" yang kebanyakan terjadi untuk penyusunan RPJMD pasca dilantik KDh. Kebanyakan "Timses" mengawal secara ketat program prioritas KDh untuk dijabarkan dalam RPJMD. Â Namun, dalam dalam penyusunan RPD ini, tim penyusun Bappeda lebih leluasa merancang program pembangunan, tanpa adanya intervensi untuk memasukkan program pembangunan yang dinilai tidak layak untuk dilaksanakan.
Perencanaan yang Terburu-buruÂ
Sesuai instruksi MDN, penyusunan RPD turut memperhatikan hasil evaluasi capaian indikator kinerja daerah RPJMD periode 2017-2022. Untuk dipahami bahwa tahun 2022 merupakan tahun akhir pelaksanaan RPJMD. Jika RPD disahkan di bulan Maret 2022, itu artinya pelaksanaan akhir RPJMD (T.A 2022) telah diabaikan untuk pedoman baseline dokumen RPD. Lebih lanjut, hasil evaluasi akhir (keseluruhan) dari pelaksanaan RPJMD periode 2017-2022 juga dipastikan hanya memenuhi kebutuhan administrasi saja, karena tidak lagi menjadi acuan penyusunan RPD. Padahal, hasil evaluasi akhir berperan penting sebagai masukan, baik untuk penyusunan dokumen perencanaan periode berikutnya, identifikasi kegagalan dan ketercapaian pembangunan, maupun  sebagai bentuk transparansi kinerja pemerintah (KDh terpilih) selama lima tahun penyelenggaraan pemerintahan. Para pembuat kebijakan, termasuk SKPK dapat dipastikan memberikan perhatian penuh pada RPD, ketimbang RPJMD yang memasuki "sakratul maut". Ini karena RPD menjadi acuan dalam penyusunan Renstra SKPK,  RKPD 2023 dan tahun berikutnya, seterusnya menjadi acuan dalam penyusunan KUA dan PPAS, dan rancangan APBD.Â
Terkait dengan data, dapat dipastikan juga data dasar yang digunakan baseline sebagai ukuran indikator kinerja penyelenggaraan pemerintahan pada RPD kebanyakan tahun 2020. Kondisi ini juga membuat estimasi untuk tahun-tahun berikutnya relatif tepat, karena mengabaikan momentum kemajuan atau kegagalan 2 (dua) tahun sebelum pelaksanaan awal RPD (start 2023). Meskipun ini hanya target (perkiraan), namun jika melenceng sangat jauh membuat perencanaan yang dibuat keluar dari koridor teknokratik (pendekatan ilmiah). Â Artinya, perencanaan yang terburu-buru yang tidak mengikuti amanat UU No.25/2004 dapat membuat output yang dihasilkan juga terburu-buru. Atau, barangkali dokumen RPD ini hanya sekadar memenuhi kebutuhan administrasi perencanaan, daripada nantinya bermasalah dengan para penegak hukum yang mulai mensasar dokumen perencanaan. Â Â
Perkiraan 2 (dua) tahun pelaksanaan awal RPD (sebelum pemilukada 2024) yang bukan penjabaran dari program prioritas KDh, dipastikan program-program pembangunan yang dilaksanakan lebih memenuhi amanat/instruksi MDN. Kemungkinan besar arahan pembangunan lebih bersifat memenuhi kebutuhan layanan wajib sesuai tanggung jawab dan tupoksi SKPK, disamping memenuhi arahan prioritas pembangunan nasional. Kecil kemungkinan membuat program-program pembangunan maha karya yang bernilai tambah tinggi, menyerap tenaga kerja lebih banyak, dan berkesinambungan mendorong ekonomi antarwilayah. Kondisi ini pun sangat beralasan mengingat campur tangan dari KDh yang kian luntur di masa akhir jabatan. Intinya, tidak ada yang bisa menjamin bahwa prioritas pembangunan yang sebelumnya berpihak pada kepentingan masyarakat dapat terlaksana. Dalam konteks ini, Pj KDh yang tunjuk pun hanya berfungsi melaksanakan arahan kebijakan dan pembangunan sesuai dokumen RPD 2023-2026. Â Â Â
Perencanaan yang terburu-buru acapkali membuat dokumen perencanaan tidak berkualitas. Padahal, perencanaan di Tanah Air masih dihadapkan permasalahan yang serius. Misalnya, temuan dari Knowledge Sector Initiative (KSI) tahun 2018, mengisyaratkan diskoneksi perencanaan dan penganggaran, disamping juga masalah lainnya mencakup tidak sinerginya perencanaan pembangunan di tingkat pusat dan daerah, tidak selarasnya jadwal atau waktu perencanaan pembangunan antara pusat dan daerah, dan minimnya bukti dipakai sebagai dasar persetujuan program dan anggaran. Menyikapi kondisi tersebut, peran aparat pengawas internal pemerintah (disingkat APIP) baik provinsi maupun kabupaten/kota dinilai sangat penting. APIP harus objektif, jujur, dan profesional serta jauh dari kepentingan sendiri/orang lain untuk melakukan Reviu RPD 2023-2026. Karena dokumen RPD disusun terburu-buru, Reviu terhadap RPD patut dilakukan secara intensif dan penuh kehatian-hatian. Tidak hanya menyangkut kepentingan administrasi dalam penyusunan, sistematika penulisan, dan konsistensi antardokumen (RPJPD, RTRW, dan RPJM Nasional), namun yang lebih penting adalah penetapan strategi dan arahan kebijakan, termasuk program-program pembangunan yang termaktub dalam RPD dipastikan lebih berpihak pada masyarakat. Â Â Â Â
Â
Harapan pada RPA Â
Pemerintah Aceh sudah menggelar Forum Konsultasi Publik penyusunan RPA 2023-2026 yang dihadiri  berbagai pemangku kepentingan yang meliputi : unsur Pemerintah, Legislatif, Akademisi, Tokoh Mayarakat, Swasta, LSM, dan Komunitas Pembangunan Lainnya. Minggu pertama di bulan Maret 2022, paling lambat RPA 2023-2026 harus disahkan sesuai Instruksi MDN. Mengingat RPA adalah dokumen publik untuk keberlanjutan pembangunan Aceh, tentunya diharapkan dapat mengatasi sekelumit masalah yang masih mendera masyarakat Aceh. Saat ini di Aceh terdapat paling kurang 850,26 ribu orang warga miskin (September 2021), bertambah 16 ribu orang dari Maret 2021 (834,24 ribu orang). Selain itu, terdapat paling kurang 158,8 ribu orang yang tidak memiliki pekerjaan yang tersebar relatif merata di kabupaten/kota (BPS, 2021). Secara spesifik, dari total warga miskin tersebut, terdapat 47,11 persen dinyatakan tidak bekerja. Lebih lanjut, sekitar 33,75 persen warga miskin bekerja di sektor informal yang rentan juga kehilangan pekerjaannya dan hanya  60,51 persen warga miskin memiliki air minum yang layak (BPS, 2020). Suatu permasalahan multidimensi yang terjadi pada masyarakat kurang beruntung di Aceh.
Belum lagi, masalah makro lainnya, seperti rendahnya pertumbuhan ekonomi, keberadaan Kawasan Industri Aceh (KIA) Ladong dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Lhokseumawe yang belum sepenuhnya berfungsi optimal mendorong ekonomi masyarakat, pandemi Covid, banjir tahunan yang mendera wilayah utara-timur, tata kelola Otsus yang salah (temuan KPPOD), dan masalah lainnya. Â Â
Tentunya mereka berharap ada secercah harapan yang lebih baik dari sebuah proses perencanaan pembangunan yang berpihak pada mereka. RPA diharap mampu menampung program-program pembangunan yang berpihak pada mereka. Intinya, program pembangunan yang termaktub dalam RPA 2023-2026 yang seterusnya dijabarkan secara spesifik dalam APBA benar-benar mendapat  tetesan manfaat bagi mereka. Tak dimungkiri, fungsi pengeluaran  pemerintah Aceh (government expenditure) bagi masyarakat miskin sangat bernilai. Demikian juga halnya bagi mereka yang tergolong pengangguran, yang berharap adanya peluang kerja dari setiap implimentasi kebijakan Pemerintah Aceh. Disaat pandemi Covid belum sepenuhnya berakhir, dapat dikatakan pengeluaran  pemerintah adalah stimulus dan pendorong utama aktivitas ekonomi masyarakat. Karena itu, dokumen RPA yang berkualitas, sudah sepatutnya diiringi dengan pengesahan APBA sesuai waktunya, pendayagunaan APBA yang efektif dan efisien untuk kemaslahatan masyarakat Aceh, semakin kecilnya silpa, serta minimnya temuan dari setiap implimentasi pembangunan Aceh. Dalam konteks wilayah, diharap juga memperhatikan keseimbangan, keadilan, dan pemerataan prioritas program pembangunan antarwilayah yang dimuat dalam RPD Aceh. Semoga RPA 2023-2026 bukan sekadar mengisi kekosongan dokumen perencanaan di masa Pj.KDh. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H