Mohon tunggu...
Irwan Safari
Irwan Safari Mohon Tunggu... -

Belajar, belajar, dan belajar!

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Atan Sipembuat Arang (Cerpen Anak)

20 Maret 2011   03:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:37 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Irwan Safari, S.Pd (Guru SMPN 10 Bengkalis)

Siang itu matahari terasa sangat menyengat dikulit. Langit kelihatan bersih dari gumpalan awan yang biasanya sedikit menghalangi sinar matahari langsung jatuh kepermukaan bumi. Atan terus berlari menyusuri jalan setapak yang dihiasi oleh warna-warni dedaunan pakis, kadang kala ia melompat seperti atlet lompat jauh untuk menghindari kawanan lumpur yang siap menyedot sebagian tubuhnya jika ia salah dalam meletakkan telapak kaki. Jalan itu memang bukan jalan terbaik yang harus ditempuhnya jika ia punya pilihan lain untuk sampai kembali kerumahnya setiap berangkat dan pulang sekolah.

Rumah papan tua peninggalan kakeknya itu berjarak lebih kurang tujuh kilo meter dari sekolah tempat Atan menimba ilmu. Atan sangat senang dan bangga dapat bersekolah dan belajar walau hanya dari dua orang gurunya yang setelah jam sekolah usai juga harus bekerja sambilan sebagai nelayan untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Namun untuk sampai pada tujuan, Atan mesti menghabiskan separuh tenaganya karena jalan itu terbentang diatas lahan gambut, dimusim hujan Atan bergelut dengan lubang dan lumpur dan sebaliknya dimusim kemarau Atan bermandikan debu merah yang dapat merubah warna seragam putihnya menjadi kuning kecoklatan dalam sekejap mata.

“Assalamu’alaikum, nek!, Asslamu’alaikum….” beberapa kali Atan mengucapkan salam sambil mendorong pintu rumah tempat ia bermain dan dibesarkan, namun tidak terdengar sahutan balasan dari dalam rumah. Sambil bertanya dalam hati tentang keberadaan nenek yang sangat ia sayangi itu, Atan langsung masuk kerumah dan seraya mengganti seragam sekolah yang sudah dua hari ia gunakan. Siang itu ia harus mencucinya untuk bisa dipakai kesekolah pada keesokan hari. Dari mulai masuk sekolah hingga ia sampai kelas empat, Atan hanya punya dua pasang seragam. Jadi ia sudah terbiasa mencuci dan membereskan pakaiannya sendiri. Nek Aisah memang mengajarkan kepada Atan untuk hidup mandiri. Sejak umur empat tahun Atan sudah tinggal bersama neneknya, waktu itu ibunya berangkat ke Malaysia menyusul suaminya yang lebih dulu berangkat menjadi TKI mengadu nasib di negeri seberang.

Begitu selesai melaksanakan Shalat zuhur, Atan langsung menuju kedapur untuk mencari makanan yang dapat mengobati rasa lapar yang sudah terasa dari mulai perjalanan pulang sekolah tadi. Dalam sebuah mangkok kecil ia menemukan seonggok nasi sisa makanan tadi pagi. Dengan lauk secukupnya ia mengambil separuh dari nasi itu untuk dimakan, sambil melihat keluar melalui celah dinding dapur ia berharap neneknya pulang. Karena ia yakin bahwa neneknya juga belum makan siang.

“Atan…”, terdengar sahutan dari depan rumah. “Ada apa Liong?” sambil membukakan pintu Atan menyambut kedatangan teman sekelasnya yang bermata sipit itu. Ia langsung teringat kepada janji yang telah dibuatnya bersama Liong untuk bersama- sama menyelesaikan tugas sekolah siang ini yang akan diserahkan kepada guru pada besok pagi. “Bawa buku-buku mu Atan! Kita langsung kerumah Alin karena aku tadi sudah janji untuk mengerjakan tugas bersama di rumahnya”. Mendengar nama anak kepala Dusun itu Atan sedikit kaget dan bingung, ia takut dan ragu kalau keberadaannya tidak diterima oleh Alin yang sejak dulu memang tidak mau berteman dengannya. “Aku harus ketempat pembakaran arang dulu untuk memberitahu nenek kalau siang ini aku tidak bisa membantunya membuat arang”. Atan dan nenek Aisah memang hidup sederhana dari pengahasilan sebagai pembuat arang, namun ia seorang anak yang patuh dan memegang teguh setiap nasehat dari neneknya.

“Ah…sudah, nanti saja setelah selesai mengerjakan tugas kamu langsung menemui nenekmu. Sekarang kita langsung kerumah Alin saja dulu, kasian dia sudah lama menunggu”. Dengan berat hati Atan mengikuti saran Liong. Mereka langusung berlari menuju rumah Alin yang bersebelahan dengan rumah Bidan Desa satu-satunya tempat warga kampung berobat apabila mereka sakit dan bagi yang akan melahirkan. Diteras rumah yang cukup mewah untuk ukuran warga di kampung itu, tampak Alin sedang duduk menunggu kedatangan mereka. “Maafkan kami Alin kalau telah membuat kamu lama menunggu” sapa Liong begitu sampai didepan rumah Pak Harun sang kepala Dusun yang tekenal kaya raya di kampung itu. Dengan raut muka kesal Alin berdiri menyambut kedatangan sahabat yang sudah lama ditunggunya. “Tapi mengapa kamu harus membawa serta teman mu yang miskin itu? Aku kan tidak menyuruhmu untuk mengajaknya datang kerumahku”. Merasa kehadirannya menimbulkan masalah bagi sahabat-sahabatnya Atan hanya menunduk terdiam. Dipelupuk matanya terlintas wajah neneknya, terngiang pesan neneknya untuk tidak pernah bermain dirumah orang kaya seperti sahabatnya Alin. Dipikirannya bergentayangan banyak pertanyaan, apakah semua orang kaya harus sombong? Apakah semua orang miskin harus dipandang hina? Sehingga mereka tidak boleh saling berteman, padahal baik orang kaya maupun orang miskin itu kan sama-sama manusia.

“Baiklah, kalau begitu kamu dan Atan boleh belajar dan menyelesaikan tugas dirumahku ini dengan syarat kalian berdua juga harus menyelesaikan tugasku” sahut Alin kepada Liong sambil berlalu mengambil sepeda barunya. Alin memilih untuk bermain sepeda sementara teman-temanya bekerja menyelesaikan tugas sekolah. Karena sebenarnya Alin menyadari kalau Atan akan dapat mengatasi setiap butir soal tugas yang baginya cukup sulit untuk dikerjakan. Dimata Alin Atan memang anak dari keluarga miskin akan tetapi ia adalah seorang anak yang cerdas dan rajin.

“Tolong…..!” Alin menjerit kesakitan sambil memegang kepalanya yang mengeluarkan darah dan akhirnya ia pingsan. Atan yang mendengarkan jeritan Alin langsung berlari memberikan pertolongan. Dengan cepat ia menggendong Alin sambil berlari kearah rumah bidan Desa. Alin langsung mendapatkan pertolongan, kepalanya yang berdarah terbentur tembok karena jatuh dari sepeda tampak dibaluti perban. Sambil meringis kesakitan Alin memandang kearah Atan yang masih tetap menjaganya di ruangan itu. “Terima kasih ya Atan, kamu telah membantuku. Kamu memang teman yang baik, aku juga minta maaf atas perlakuanku selama ini kepadamu”. Alin terlihat begitu menyesali perlakuannya yang selalu menghina dan meremehkan Atan karena ia orang miskin. Dengan tulus Atan menganggukkan kepala pertanda ia memaafkan semua kesalahan temannya tersebut. Dimata Atan tidak ada manusia yang tidak luput dari salah dan dosa, tugasnya hanya memberikan maaf kepada yang memintanya.

Sambil mengatur napas yang terengah-engah setelah berlari Liong memanggil Atan. “Rumah tempat nenekmu membuat arang terbakar, Atan”. Dengan seketika jantungnya seakan berhenti berdenyut. Ia terbayang wajah neneknya yang telah memberikan kasih sayang. Sekuat tenaga ia berlari menuju tempat pembuatan arang, ditempat itu ia banyak menghabiskan hari-harinya bersama sang nenek. Disanalah ia banyak belajar tentang kehidupan, tentang cita-cita masa depan dibalik pelukan hangat neneknya. “Nenek….! Jangan tinggalkan aku sendiri, aku belum siap nek!”. Sambil memeluk tubuh renta yang sebagian hangus terbakar terperangakap dalam pondok tempat membakar arang itu. Namun ia sadar bahwa neneknya telah pergi meninggalkannya untuk selamanya.**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun