Bagi negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, pertumbuhan ekonomi menjadi hal yang sangat penting. Makanya, target pertumbuhan ekonomi dan bagaimana realisasinya, selalu disorot oleh banyak pihak.
Ekonomi yang bertumbuh dengan signifikan, akan terlihat pada peningkatan pendapatan perkapita, penambahan lapangan kerja, kokohnya keuangan pemerintah, dan meningkatnya daya saing negara.
Salah satu janji kampanye Prabowo-Gibran yang membuat pasangan ini terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden, adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 8 persen.
Target 8 persen tersebut menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, bukan hal yang mustahil, karena di era Orde Baru hal itu pernah dicapai.
Airlangga optimistis target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto bisa tercapai pada tahun 2027 atau 2028 mendatang.
Lebih lanjut, Airlangga menuturkan rumus agar pertumbuhan ekonomi 8 persen bisa dicapai. Rumus tersebut terletak pada konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor.
Rumus di atas sebelumnya sukses digunakan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, di mana pertumbuhan ekonomi berhasil tembus 8,2 persen pada 1995.
"Kalau kita lihat sejarah, kita pernah mencapai angka (pertumbuhan ekonomi) tertinggi di tahun 1995 yaitu 8,2 persen. Tentunya kebijakannya adalah konsumsi, investasi, dan ekspor. Jadi rumus konsumsi, investasi, dan ekspor ini sepertinya berulang," kata Airlangga dalam Rapat Koordinasi Nasional Investasi di Jakarta, Rabu (11/12/2024).
Terlepas dari target di atas yang diperkirakan akan dicapai pada 2027 atau 2028, untuk masa yang sudah di depan mata, yakni tahun 2025, prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif datar.
Hal ini terlihat dari kajian Bank Dunia yang telah merilis prediksinya terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun depan yakni sebesar 5,1 persen.
Pada tahun 2024 ini yang akan segera berakhir alias tutup buku, pertumbuhan ekonomi Indonesia menurut prediksi Bank Dunia sebesar 5 persen. Artinya, 2024 dan 2025 ibarat sebelas-duabelas (mirip kondisinya).
Asian Development Bank (ADB) juga memprediksi ekonomi Indonesia tumbuh stagnan di level 5 persen di tahun 2024 dan 2025.
Dapat dikatakan bahwa perekonomian Indonesia di tahun 2025 tidak lebih baik dari tahun ini, walaupun juga mungkin tidak lebih buruk.
Bagaimanapun juga pertumbuhan tersebut tetap perlu disyukuri, karena berada di level moderat. Ya, tidak jelek dan juga tidak luar biasa.
Adalah konsumsi swasta yang masih kuat, belanja infrastruktur publik, dan investasi yang secara bertahap membaik, yang menjadi penopang pertumbuhan ekonomi kita.
Stagnan perekonomian Indonesia terjadi karena dampak faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal berupa tekanan global yang semakin besar.
Kondisi internasional karena konflik Timur Tengah dan perang Rusia Ukraina yang belum berakhir, tentu berpengaruh pada arus perdagangan dunia.
Faktor internal (dalam negeri) terkait dengan stabilitas makroekonomi dan sektor keuangan yang menjadi fondasi utama untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Namun, perlu pula mencermati faktor internal yang terjadi karena terjadinya pelemahan daya beli kelas menengah di dalam negeri.
Pelemahan daya beli kelas menengah tersebut antara lain karena kenaikan harga barang, termasuk kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Di lain pihak, terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal di beberapa perusahaan berskala menengah ke atas.
Selaras dengan ADB dan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) sebelumnya telah memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh stagnan di kisaran 5,1 persen.
Dalam laporan terbarunya yang dipublikasikan pada Oktober 2024, IMF bahkan memproyeksikan pertumbuhan ekonomi RI akan stagnan di level tersebut sampai tahun 2029.
Jadi, IMF belum melihat indikasi yang kuat akan tercapainya pertumbuhan ekonomi Indonesia 8 persen pada 2027 atau 2028.
Terkait dengan inflasi, ADB memprediksi inflasi di Indonesia tetap berada dalam kisaran target pemerintah dan Bank Indonesia (BI) yakni 1,5 persen hingga 3,5 persen year-on-year (yoy).
Meskipun inflasi relatif terkendali, nilai tukar rupiah khususnya terhadap dollar AS, mungkin saja akan melemah, terkait dengan efek Donald Trump yang akan menaikkan pajak impor, padahal AS menjadi salah satu tujuan ekspor utama RI.
Namun demikian, pebisnis sekaligus politikus Hashim Djojohadikusumo menyatakan keyakinannya, bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa melampaui 8 persen, angka yang menjadi target Presiden Prabowo Subianto.
Hashim, yang sekarang menjadi Utusan Khusus Presiden untuk Iklim dan Energi, mengatakan hal ini dapat dicapai dengan elektrifikasi.
“Delapan persen itu tujuan Pak Prabowo minimal. Sedikit-dikitnya, sekecil-kecilnya itu 8 persen. Target kita melebihi 8 persen. Saya pribadi sudah lihat kita berkesempatan untuk mendapat 9–9,5 persen,” kata Hashim di acara Penghargaan Nusantara TV: CEO Awards 2024 (4/12/2024).
Apakah optimisme Hashim terlalu berlebihan, karena berbeda jauh dengan kajian IMF? Berlebihan atau tidak, akan terlihat dari pencapaian tahun 2025.
Jika ekonomi tahun depan tumbuh biasa-biasa saja, ambisi pemerintah meraih pertumbuhan ekonomi 8 persen pada 3 atau 4 tahun mendatang, sulit dicapai.
Jadi, fondasi untuk pertumbuhan ekonomi tinggi sudah harus terlihat pada 2025. Kemudahan dan efisiensi dalam investasi menjadi salah satu pilar utama yang harus berdiri kokoh.
Pemerintah, seperti yang dikatakan Airlangga Hartarto, akan memperbaiki tingkat efisiensi investasi yang tecermin lewat angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR).
Airlangga menilai, Indonesia mampu mencapai pertumbuhan 8 persen, asal level ICOR dapat diturunkan dari posisi 6,5 saat ini menjadi level 4.
Menurut Airlangga, level ICOR Indonesia yang tinggi membuat ekonomi tidak efisien, sehingga pertumbuhan ekonomi bergerak stagnan.
Dengan porsi investasi terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 30 persen dan level ICOR 6,5, wajar pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini tertahan di angka 5 persen.
Namun, jika ICOR bisa diturunkan ke level 5 persen, pertumbuhan ekonomi bisa di atas 6 persen. Apalagi, kalau ICOR kita bisa sampai level 4 persen.
"Dengan porsi investasi terhadap PDB 32 persen, maka pertumbuhan 8 persen itu bisa dicapai. Salah satunya, pemerintah akan berupaya agar seluruh infrastruktur yang dibangun bisa terkoneksi dengan sarana produksi,” kata Airlangga.
Nah, bagi masyarakat banyak sebetulnya tidak memusingkan laju pertumbuhan ekonomi. Yang penting asal bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan nyaman.
Artinya, masyarakat berharap kondisi yang kondusif buat mereka bekerja, dan bagi yang menganggur tersedia lapangan kerja baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H