Saya sangat suka makan kue klepon. Rasanya manis dengan sensasi gula merah. Kue ini gampang ditemui di tempat-tempat yang menjual jajanan pasar, terutama di kota-kota di Jawa dan Sumatera.
Boleh dikatakan kalau kue berbentuk bulat berwarna hijau dan ditaburi parutan kelapa itu, merupakan salah satu kue tradisional yang masih laris hingga sekarang.
Kebetulan saya lama berkantor di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, yang juga jadi salah satu sentra pasar kue tradisional di Jakarta, selain Pasar Subuh Senen yang sangat terkenal.
Setiap ada kegiatan rapat di kantor, biasanya dibagikan kotak snack yang antara lain berisi kue klepon. Nah, suatu kali, sensasi gula merah tidak hanya manis di lidah, tapi juga berakibat sensasi yang negatif.
Ya, karena saking gembiranya melahap klepon, tak sadar gula merahnya muncrat mengenai kemeja putih dan dasi bergaris merah-hitam yang saya pakai. Malunya itu yang tidak tahan.
Tapi, jangan bilang saya kapok makan klepon. Hingga sekarang pun hobi yang satu ini masih saya nikmati, tentu dengan penuh ketati-hatian agar tidak muncrat.
Dari referensi yang saya baca, klepon mulanya berasal dari Jawa, yang kemudian menyebar ke Sumatera dan Sulawesi. Bahkan, juga sampai ke Malaysia, yang mereka sebut dengan nama onde-onde.Â
Bahan makanan ini sangat sederhana dan relatif gampang dibuat, yakni terdiri dari tepung kanji, daun pandan, dan gula aren atau gula merah.Â
Dikutip dari indonesia.go.id, pada buku bacaan "Belajar dari Makanan Tradisional Jawa" (2017) terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, ternyata klepon punya filosofi, yakni berkaitan dengan "kesederhanaan".
Kenapa filosofinya seperti itu? Karena bahan baku untuk membuat klepon mudah ditemukan. Contohnya kelapa, yang merupakan bahan dasar dari hampir semua kuliner Nusantara.Â
Kesederhanaan tersebut bisa pula dilihat dari cara mengolah dan memasaknya yang terbilang simpel. Begitulah filosofi kue klepon.
Bila dikaitkan dengan kehidupan kita sehari-hari, kesederhanaan bisa dipersepsikan sebagai perilaku yang tidak suka pamer atau enggan menghamburkan kekayaan.
Tahukah Anda, kalau rasa manis dari gula merah di dalam klepon ternyata melambangkan kebaikan hati seseorang walaupun tidak terlihat dari luar.Â
Artinya, kita dianjurkan berbuat baik, tanpa harus diperlihatkan pada orang lain. Kalau berbuat baik karena ingin dipuji orang lain, itu tidak tulus.
Adapun baluran parut kelapa pada kue klepon bermaksud mengingatkan kita pada kesabaran untuk mencapai kebahagiaan.Â
Hal itu bisa dilihat dari proses sebelum daging kelapa diparut, ada proses panjang seperti harus membersihkan kulit luar, membuang sabutnya, membuka balok, dan memindahkan airnya.
Sedangkan, warna hijau pada klepon yang berasal dari daun pandan menggambarkan lambang kesejahteraan dan kesuburan. Makanya, klopon biasa dihidangkan dalam setiap acara syukuran.
Ingat, memakan klepon juga ada etikanya. Ketika memakannya mulut harus mingkem atau dalam kondisi mulut tertutup, jangan sambil berbicara.Â
Jika kita makan klepon dengan mulut terbuka, isi klepon yang cair bisa muncrat keluar dari mulut. Mungkin itulah kekeliruan saya ketika mengalami "musibah" muncrat.
Ya, ketika itu saya memang belum tahu filosofi dan etika memakan kue klepon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H