Kasus perdagangan anak ini berawal dari laporan RD ke pihak kepolisian. RD mengetahui kasus tersebut setelah menerima laporan dari ibunya.Â
Selama bekerja di Kalimantan, RD menitipkan pengasuhan anaknya ke ibunya. RA yang penganggur juga tinggal serumah dengan ibunda RD di Jakarta.Â
RD pulang ke Jakarta setelah mendapat kabar dari ibunya yang sangat sedih, karena cucunya (anak RD) tidak pulang-pulang setelah berhari-hari tinggal bersama pasangan suami istri yang diakui RA sebagai saudaranya.
Skenario RA sewaktu bercerita ke mertuanya adalah ia ke rumah saudaranya untuk meminjam uang buat modal usaha.Â
Bayinya dibawa RA ke rumah "saudara"-nya itu, tapi ketika RA pulang ke rumah mertuanya, si bayi tidak ikut pulang.
Kasus di atas semakin memperbanyak kasus-kasus yang berkaitan dengan judi online. Celakanya, yang jadi korban bukan penjudi kaya raya yang biasa berjudi di Macau atau Las Vegas.
Tapi, orang miskin dan para remaja yang paling banyak jadi korban. Contohnya, ya si ayah yang jual anak itu tadi.
Yang mengoperasikan judi online itu juga banyak anak muda Indonesia, yang bekerja dengan pengelola aplikasi judi di Kamboja. Mereka bekerja karena dijebak dengan iming-iming menggiurkan.Â
Tak bisa lain, pemerintah dan pihak terkait harus lebih serius memberantas judi online. Jangan biarkan korban-korban rakyat kecil lain bertumbangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H