Bertubi-tubi berita kasus kekerasan di sekolah yang terjadi akhir-akhir ini, seperti yang diberitakan oleh banyak media massa. Kasus tersebut kebanyakan berupa kekerasan antar pelajar.
Misalnya, seringnya terjadi tawuran antar sekolah, atau antar geng di sekolah yang sama. Bisa pula berupa kekerasan sepihak, ketika anak yang merasa jagoan mem-bully anak lainnya.
Tidak hanya itu, sekarang bermunculan pula kasus kekerasan yang justru dilakukan guru terhadap muridnya.
Tentu hal ini sesuatu yang ironis. Bukankah guru menjadi pihak yang paling diharapkan untuk dapat mengikis perilaku kekerasan di sekolah, dengan berkoordinasi bersama orang tua murid?
Ternyata, di era teknologi informasi sekarang, masih saja ada guru yang memberikan hukuman fisik kepada murid, tentu dengan dalih untuk mendidik anak agar disiplin.
Celakanya, hukuman fisik itu berujung maut, sehingga layak disebut sebagai kasus kekerasan di sekolah. Contohnya, dua kasus yang diuraikan di bawah ini.
Pertama, apa yang terjadi di Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Seorang siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs), berinisial KAF (14 tahun), kehilangan nyawa setelah dilempar kayu berpaku oleh gurunya.
Kasus di atas bermula saat KAF (siswa MTs di Desa Bacem, Kecamatan Ponggok), dianggap tidak segera melakukan salat duha oleh gurunya berinisial U, pada hari Minggu pagi (15/9/2024).
Kayu yang dilemparkan U, mengenai kepala KAF bagian belakang. Mungkin sang guru tidak menyadari bila kayu itu berpaku.
“Kayu itu ada pakunya, dan langsung menancap di kepala korban. Paku dicabut, korban tak sadarkan diri,” kata Iptu Samsul Anwar, Kasi Humas Polres Blitar Kota kepada jurnalis.
Meskipun korban sempat ditangani pihak RSUD terdekat, namun kondisinya memburuk hingga harus dirujuk ke RSUD Kabupaten Kediri.
Namun demikian, upaya operasi tidak bisa dilakukan, dengan mempertimbangkan risiko yang terlalu besar akibat pendarahan yang parah di kepala.
KAF akhirnya meninggal dunia setelah selama seminggu berada dalam kondisi kritis. Polisi bertindak cepat dan sekarang tengah menindaklanjuti kasus ini.
Kedua, kasus yang terjadi di Deli Serdang, Sumatera Utara. Hukuman fisik yang berlebihan dari seorang guru, berujung maut bagi Rindu Syahputra Sinaga (14).
Siswa kelas IX SMP Negeri 1 STM Hilir itu, harus kehilangan nyawa setelah menjalani hukuman fisik yang berat, yakni 100 kali squat jump yang diberikan oleh guru honorer, Selly Winda Hutapea.
Hukuman itu diberikan karena Rindu dinilai tidak menghafal pelajaran agama (tidak hafal nama-nama Nabi dalam Alkitab).
Atas kasus tersebut, Kepala Sekolah SMP Negeri 1 STM Hilir, Suratman, memastikan akan segera memproses pemecatan guru honorer tersebut.
Peristiwa di atas terjadi pada hari Kamis (19/9/2024), dan keesokan harinya Rindu mengeluh karena merasa sakit pada kakinya.
Rindu sempat dibawa ke klinik terdekat dan dirujuk ke RSU Sembiring Deli Tua, tapi kondisinya terus memburuk sampai akhirnya meninggal dunia pada Kamis (26/9/2024).
Pihak kepolisian setempat juga bertindak cepat dalam menangani kasus kekerasan oleh oknum guru tersebut.
Guru yang main keras, sama saja ibarat kata pepatah "guru kencing berdiri murid kencing berlari".
Maka, selagi masih ada guru yang melakukan tindak kekerasan, akan sulit sekali untuk bisa melenyapkan kekerasan di sekolah.
Tak bisa lain, guru harus selalu mawas diri, agar tidak menjadi pelaku kekerasan. Justru, guru harus mampu memberi contoh untuk mendidik dengan penuh ketulusan dan kasih sayang.
Guru itu digugu dan ditiru, menjadi sosok panutan, figur yang diteladani anak didiknya. Ini yang perlu dicamkan oleh semua guru dan dilaksanakan secara konsisten.
Memberikan hukuman fisik kepada pelajar adalah contoh praktik pengajaran ala kolonial Belanda yang semestinya sudah dihilangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H