Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

3 Fase Perjalanan Cinta, Hati-Hati di Jalan Menyimpang

22 September 2024   06:38 Diperbarui: 22 September 2024   06:42 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cinta dalam arti luas bisa mencakup apa saja, baik cinta orang tua terhadap anak, cinta sesama saudara, bahkan juga termasuk cinta pada tanah air kita Indonesia.

Namun, tulisan ini fokus pada cinta berupa hubungan spesial antara seorang lelaki dan seorang perempuan, baik yang masih tahap pacaran, maupun yang sudah berumah tangga.

Perjalanan cinta antar setiap pasangan tentu saja berbeda-beda. Ada yang sangat pendek, seperti pernah dilantunkan Bimbo dalam lagunya "Cinta Kilat", yang kira-kira hanya untuk seminggu.

Pada titik ekstrim yang lain, ada yang sukses mempertahankan kesetiaannya sebagai suami-istri dalam masa yang sangat panjang. 

Pasangan Kompasianer Pak Tjiptadinata Effendi dan Bu Roselina Tjiptadinata, jadi contoh langka, karena telah 60 tahun membina rumah tangga.

Kata orang, cinta itu buta yang kadang-kadang muncul tanpa aba-aba. Kita tak pernah tahu, dengan siapa kita bakal jatuh cinta, kapan, dan di mana. 

Tapi, dari titik "kejatuhan" cinta itu, kita bisa memilih apakah akan kita perjuangkan agar mendapatkannya sebagai pacar, atau bahkan ditingkatkan statusnya sebagai istri atau suami.

Karena ini bersifat pilihan, tentu ada dasar rasionalnya. Termasuk dalam memelihara cinta agar bertahan hingga mencapai diamond wedding anniversary seperti yang dialami Pak Tjipta dan Bu Lina.

Menurut John Gottman dalam bukunya Principia Amoris: The New Science of Love yang disarikan oleh Kompas (27/2/2021), ada 3 fase alami cinta, yakni sebagai berikut.

Pertama, fase jatuh cinta (limerence) yang secara fisik ditandai dengan jantung berdebar, gemetar dan wajah merona.

Kemudian diikuti dengan perasaan gembira, obsesi, pikiran yang mengganggu, fantasi, gairah seksual, hingga ketakutan akan penolakan.

Kedua, fase membangun kepercayaan. Di sini muncul pertanyaan sebagai tanda peringatan, seperti apakah dia mau dengan saya, apakah dia bisa dipercaya, dan apakah dia akan mendukung saya.

Muncul pula rasa kesal, kecewa, marah, sedih, frustrasi, dan menjadi konflik dalam menentukan berlanjut atau tidak berlanjutnya hubungan.

Jika hubungan berlanjut akan terbangun rasa saling percaya, memikirkan kepentingan terbaik dan mendengar rasa sakitnya, hingga terbangun empati dan saling menyesuaikan diri.

Ketiga, fase membangun komitmen dan loyalitas. Fase ini menjadi titik kritis yang bila berhasil akan membuat cinta bertahan seumur hidup.

Namun, jika komitmen dan loyalitas tidak terealisir dengan baik, bahkan bisa berbalik jadi memelihara kebencian atas harapan yang hilang. Hal ini akan memunculkan pengkhianatan. 

Nah, itulah yang dimaksudkan dalam judul tulisan ini yang menyebutkan agar hati-hati di jalan menyimpang.

Ingat, masa berbunga-bunga yang ditandai keintiman emosional dan kedekatan fisik, relatif tidak lama, hanya sekitar dua hingga tiga tahun.

Adapun yang bisa menjaga pernikahan sampai puluhan tahun itu bukanlah cinta, tapi komitmen dan loyalitas. Rendahnya komitmen bisa berujung pada perselingkuhan.

Ketika perasaan di antara pasangan jadi biasa-biasa saja, tidak ada kejutan romantis, maka rasa cinta akan turun. Cinta itu ibarat mesin yang harus dipanaskan secara konsisten.

Melakukan hal-hal baru bersama pasangan atau mencoba situasi baru, bisa dilakukan untuk memanaskan mesin cinta.

Ikatan cinta atau pernikahan yang menghasilkan lebih banyak penghargaan daripada pengorbanan, akan memberikan kepuasan lebih besar dan melanggengkan hubungan.

Tapi, kalau menempuh jalan menyimpang, sangat mungkin akan terlihat sosok lain yang memikat hati. Mulanya, sekadar kagum. Lama-lama bisa jadi ketertarikan untuk membina hubungan.

Tak tepat kalau ada istilah pelakor (perebut laki orang). Bukankah hubungan asmara akan terbangun dari keinginan timbal balik kedua belah pihak? Tak ada yang merebut atau direbut.

Maka, jika komitmen dan loyalitas dalam hubungan jangka panjang tidak dijaga, serta membiarkan diri terjebak dalam rutinitas yang membosankan, ini pertanda bahaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun