Jangan lupa, di kota-kota satelit yang secara administrasi pemerintahan tidak masuk Jakarta, banyak pula mal bagus seperti di kawasan Bintaro, Serpong, Depok, dan Bekasi.
Pertanyaannya, kenapa mal demikian menjamur? Padahal, mal saat ini tidak lagi tepat disebut sebagai pusat perbelanjaan, melainkan lebih dominan sebagai pusat kuliner.
Nah, justru karena menjadi pusat kuliner itulah, mal masih tetap ramai. Hanya pada tahap permulaan berjangkitnya pandemi Covid-19 mal-mal sepi, bahkan tidak boleh beroperasi.
Dulu, pengunjung datang ke mal pada umumnya untuk berbelanja dan mencari makan sebagai acara sampingan, khususnya bila selesai berbelanja telah memasuki jam makan.
Sekarang, kondisinya jadi terbalik. Tujuan utama ke mal untuk mencari makan. Sambil menuju atau pulang dari food court dan kebetulan melihat barang bagus, maka berbelanja bisa terjadi tanpa terencana.
Makan-makan di mal telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat kota besar, terutama bagi warga kelas menengah ke atas.Â
Di hari kerja, orang kantoran menjadikan mal sebagai tempat makan. Tak heran, area food court sangat ramai di jam makan siang.
Pada hari Sabtu, Minggu, dan hari libur nasional, giliran rombongan keluarga, rombongan reuni atau arisan yang makan-makan di mal.
Banyak warga kota besar yang paling tidak sekali seminggu mendatangi mal. Menurut persepsi umum, makan di mal lebih terjamin kebersihannya, lebih menarik penyajiannya dan lebih nyaman.Â
Artinya, first impression bagi pengunjung mal terhadap restoran yang ada di sana sangat positif, karena didesain sedemikian rupa sehingga membuat nyaman, selain kondisi yang dingin karena sistem AC sentral.
Dari sebuah penelitian sederhana, terungkap bahwa aktivitas yang paling disukai saat berkunjung ke mal yakni makan di restoran atau food court, disusul menonton film di bioskop, belanja pakaian, berkeliling saja atau window shopping, dan lainnya.