Paling tidak, seperti itulah yang ditulis  Marni dalam pesannya kepada sejumlah orang, untuk memperkuat alasannya kenapa ia minta bantuan.
Ada anggota famili yang mengingatkan saya tentang cerita Marni belum tentu betul semuanya. Karena itu, saya diminta untuk hati-hati.
Tapi, dibohongi atau tidak, saya ikhlas  membantu. Justru, ada kelegaan di hati saya, bahkan tak berlebihan bila saya sebut ada semacam kebahagiaan.
Tak ingin saya membalas dendam dengan apa yang dulu diterima orang tua saya dari orang tua Marni, saat saya masih sekolah di kampung.
Bagaimana cerita di masa lalu itu, tak perlu saya ungkit-ungkit. Ringkasnya, orang tua saya harus tersingkir meninggalkan rumah kecil dengan kedai harian sederhana di bagian depannya.
Kedai dan rumah itu kemudian dikuasai orang tua Marni. Alasannya, hal tersebut mengacu pada aturan adat Minang soal kepemilikan harta, bukan pada ajaran agama.
Kami sering disindir sebagai pihak yang menumpang. Akhirnya, saya dan saudara-saudara yang ketika itu baru bekerja, gotong royong membangunkan rumah buat orang tua.
Kami sekelurga menerima dengan ikhlas. Banyak hikmah yang kami petik, terutama soal bagaimana kita sebaiknya bersikap dalam mencari dan menggunakan harta.
Karena harta, hubungan antar kerabat bisa terpisah. Tapi, kami (saya beserta kakak dan adik saya) tak mau seperti itu. Kami memilih untuk mempertahankan silaturahmi meskipun "terusir".
Memaafkan lalu melupakan sangat tidak gampang. Bagi saya, kalau sekadar memaafkan, bukan hal yang sulit. Tapi, untuk melupakan, saya masih kurang yakin.
Yang pasti, saya tidak akan dengan sengaja mengingat-ingat. Tapi, kalau pun teringat, saya bisa memastikan bahwa tidak ada perasaan dendam di hati saya.