Ada kejadian tragis yang baru-baru ini terjadi, yakni chaos di Inggris dan Bangladesh. Menyaksikan tayangannya di layar kaca, membuat kita di Indonesia teringat kerusuhan massal tahun 1998.
Memang, kerusuhan di negara kita pada 1998, kerusuhan di Inggris sekarang, juga yang di Bangladesh, masing-masing berbeda penyebabnya.
Tapi, skala kerusuhannya dan kerugian yang ditimbulkannya boleh dikatakan mirip, terutama antara yang di Bangladesh dan di Indonesia 1998.
Kesamaan lainnya antara Indonesia dan Bangladesh adalah tumbangnya pengusa karena aksi demonstrasi, yang mayoritas dilakukan oleh mahasiswa di seantero negara.
Di Indonesia, Soeharto meletakkan jabatannya sebagai Presiden dan menjadikan Habibie yang sebelumnya wakil presiden sebagai presiden. Habibie segera melakukan pemilu yang demokratis.
Di Bangladesh, Perdana Menteri Seikh Hasina mengundurkan diri. Ekonom senior yang terkenal dengan gagasan kredit mikro untuk kelompok wanita, Muhammad Yunus, menjadi Penjabat PM.
Krisis moneter menjadi penyebab utama chaos di Indoenesia 1998. Apalagi, kekuasaan rezim Orde Baru selama lebih 30 tahun telah kehilangan kepercayaan rakyat.
Kerusuhan 1998 itu berkembang dengan cepat dan berbuntut pada aksi penjarahan toko-toko dan rumah-rumah yang dimiliki saudara kita keturunan Tionghoa.
Kondisi saat ini di banyak negara adalah naiknya inflasi, yang berakibat daya beli masyarakat menurun dan tingkat pengangguran meningkat.Â
Tapi, bila kondisi di atas juga diikuti dengan semakin parahnya disparitas atau kesenjangan antar kelompok masyarakat, maka potensi terjadinya kerusuhan semakin besar.