Di Era Soeharto, Ketua dan anggota DPA merupakan sosok senior yang dianggap telah berjasa kepada negara. Ya, semacam penghargaan atas hasil kerjanya di masa lalu.
Kehadiran DPA waktu dulu memang lebih bersifat formalitas dan hadir di acara seremonial kenegaraan, tapi rekomendasi DPA terhadap isu-isu yang muncul, jarang terungkap ke permukaan.
Nah, sekarang dengan akan berakhirnya masa kepresidenan Jokowi, apakah DPA versi baru akan menjadi tempat yang tepat agar beliau tetap berperan?
Kalau iya, mungkin DPA Â versi baru tidak sekadar lembaga tinggi negara gaya Orde Baru yang seremonial, tapi akan bergigi dan sekaligus bergengsi.
Dikutip dari Tempo, poin perubahan Revisi UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden, mencakup hal berikut:
Pertama, Pasal 1 yang mengubah nama Dewan Pertimbangan Presiden menjadi Dewan Pertimbangan Agung.
Kedua, Pasal 2 yang menyatakan DPA adalah lembaga negara.Â
Perlu ditegaskan bahwa Wantimpres bukan dinyatakan sebagai lembaga negara, melainkan lembaga pemerintah.
Ketiga, Pasal 7 Ayat 1, DPA terdiri atas ketua merangkap anggota dan beberapa orang anggota yang jumlahnya ditetapkan sesuai dengan kebutuhan presiden dengan memperhatikan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Keempat, menghapus Pasal 12 Ayat 1d yakni larangan anggota DPA merangkap pengurus partai politik, pemimpin ormas, lembaga swadaya masyarakat, yayasan, badan usaha milik negara atau swasta, organisasi profesi, dan pejabat struktural di perguruan tinggi negeri ataupun swasta.
Dengan poin perubahan dan penghapusan di atas, tak heran mengundang komentar dari beberapa pengamat yang mengatakan pembentukan DPA sebagai persiapan pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto.