Masih segar dalam ingatan kita soal hebohnya media massa terkait sangat sepinya Pasar Tanah Abang di Jakarta Pusat. Pasar ini disebut sebagai pusat penjualan tekstil terbesar di Asia Tenggara.
Ketika itu, pasar yang berjualan secara konvensional tersebut terpukul oleh perdagangan online, seperti melalui marketplace atau dengan cara live di aplikasi media sosial.
Nah, sekarang media massa heboh lagi. Kali ini yang terpukul adalah industri tekstil dan turunannya, sehingga terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di berbagai perusahaan.
Tidak hanya beberapa pabrik tekstil yang punya banyak pekerja yang ditutup. Rumah konveksi skala kecil yang masih tergolong usaha rumah tangga pun gulung tikar.Â
Ambil contoh yang dialami oleh Nandi Herdiaman yang tinggal di Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Selama ini Nandi membuat gamis, mukena, dan kerudung.
Tapi, sejak 3 bulan terakhir, dari 20 mesin jahit di rumahnya, hanya 3 yang jalan. Kondisi rumah konveksi lain tak berbeda jauh, seperti yang ditulis Majalah Tempo edisi 21 Juli 2024.
Adapun soal PHK massal, yang telah diberitakan oleh media seperti Tempo, antara lain menimpa 700 orang pekerja PT Alenatex yang berlokasi di Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung.
Kementerian Perindustrian juga telah mendata 5 perusahaan lain yang berguguran, yakni PT Dupantex, PT Kusumahadi Santosa, PT Kusumaputra Santosa, PT Pamor Spinning Mills, dan PT Sai Apparel.
Semua perusahaan tersebut berlokasi di Jawa Tengah. Diperkirakan masih ada perusahaan lain yang menyusul. Artinya, kondisi sektor usaha tekstil tidak baik-baik saja.
Apalagi kalau dikaji dampak ekonomi makro dari banyaknya PHK tersebut. Tidak gampang mencari pekerjaan bagi mereka yang kena PHKÂ
Soalnya, kondisi di negara kita menunjukkan lapangan kerja yang tersedia sangat terbatas. Di lain pihak, jumlah pencari kerja membludak.
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) selama ini menjadi tumpuan mereka yang tidak tertampung di lapangan kerja formal. Namun, perlu keuletan bagi pelaku UMKM, selain masalah permodalan.
Impor Ilegal Jadi Biang Kerok
Dengan bangkrutnya sejumlah pabrik tekstil dan juga usaha konveksi, apakah konsumen menghadapi kelangkaan barang?
Apakah kelesuan industri tekstil dan usaha konveksi itu, membuat pasokan ke Pasar Tanah Abang, Pasar Baru, Pasar Cipulir, dan pasar tekstil lainnya di Jakarta dan sekitarnya, berkurang jauh?
Ternyata tidak. Justru di sinilah masalahnya, karena konsumen cenderung membeli produk yang sangat murah yang melimpah di pasaran. Perdagangan online pun masih berjalan dengan baik.Â
Hanya saja, jika dulu pedagang online memesan pakaian ke rumah konveksi, sekarang diduga mereka berpaling ke produk impor ilegal yang membanjiri pasar Indonesia.
Bahkan, yang legal pun juga dipersoalkan oleh pelaku usaha dalam negeri. Aturan impor terbaru dinilai telah memicu banjir impor tekstil berharga sangat murah dari Cina.Â
Persoalan impor pakaian menjadi dilema. Bukan saja karena ada yang ilegal. Tapi, yang legal juga merasa didukung dengan adanya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 tahun 2024.
Peraturan yang memperlonggar ketentuan impor itu sangat dimanfaatkan Cina yang mengalami kelebihan stok. Produsen Cina melepas barang dengan harga lebih rendah dari harga bahan baku.
Untuk produk ilegal, menjadi semakin murah karena tidak membayar bea masuk tindakan pengamanan (BMPT) dan juga tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI).
Tak bisa lain, kebijakan tersebut perlu dievaluasi. Kementerian Perdagangan yang pro impor dan Kementerian Perindustrian yang ingin membantu produk dalam negeri harus duduk bersama.
Betulkah Tekstil Termasuk Sunset Industry?
Terlepas dari kondisi sekarang, sebetulnya industri tekstil di negara kita sudah cukup lama oleh pengamat ekonomi digolongkan sebagai sunset industry.
Maksudnya, industri tekstil berkecenderungan mengalami penurunan terus menerus dalam hal produksi, ekspor, maupun penyerapan tenaga kerja.
Makanya, beberapa bank nasional sudah memasukkan perusahaan tekstil sebagai hal yang perlu dianalisis lebih hati-hati, bila ada perusahaan tekstil yang mengajukan permohonan kredit.
Fenomena tersebut seiring dengan berakhirnya era upah buruh murah di Indonesia, dan kalah bersaing dengan Vietnam atau Bangladesh yang upah buruhnya lebih murah.
Tapi, pelaku usaha tekstil tidak setuju disebut sebagai industri senja kala. Mereka yakin, kalau tak ada pelonggaran impor dan impor ilegal, kondisinya akan kembali membaik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H