Sebagai perantau asal Sumatera Barat di Jakarta, jujur saja, sensitivitas saya semakin berkurang terhadap berbagai bencana alam yang terjadi di kampung halaman saya itu.
Mungkin hal tersebut karena terlalu seringnya Ranah Minang dilanda musibah, sehingga ketika mengetahui terjadi lagi bencana terbaru, saya tidak begitu kaget.
Berita tentang terputusnya jalan raya yang menghubungkan antar kota di Sumbar, mohon maaf, bagi saya sudah berita biasa. Longsor yang menggerus jalan menjadi penyebab hal itu.
Lalu, erupsi Gunung Marapi yang menggelindingkan bebatuan berukuran besar (bencana galodo), sehingga menghacurkan rumah dan menelan korban jiwa, juga sudah beberapa kali terjadi.
Jadi, ketika sekarang bencana yang sama terjadi melanda Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar, dan Kabupaten Padang Pariaman, saya merasa sedih dengan beberapa catatan.
Pertama, kenapa pemerintah dan masyarakat seperti tidak belajar dari bencana-bencana sebelumnya. Dugaan saya, peringatan dari BMKG, tidak begitu diperhatikan.
Seperti diketahui, BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) adalah instansi resmi yang mengeluarkan perkiraan cuaca dan kemungkinan terjadi bencana.
Sebelum banjir bandang lahar dingin menimpa Sumbar (11/5/24), BMKG sudah mendeteksi sirkulasi siklonik di Wilayah Sumbar pada 8 Mei 2024.
Kedua, apakah peringatan BMKG tidak tersosialisasikan dengan baik atau karena pelaksanaan mitigasi bencana yang tidak berjalan, perlu didalami agar tidak terulang lagi.
Masyarakat seperti tidak siap, demikian pula mungkin instansi pemerintah terkait, sehingga menurut berita televisi, hingga 14 Mei 2024 tercatat ada 50 korban jiwa pada musibah tersebut.