Saya relatif sering berkunjung ke Masjid Istiqlal, masjid kebanggaan Indonesia karena merupakan masjid terbesar di Asia Tenggara, yang terletak di Jakarta Pusat.
Biasanya, bila ada saudara atau kerabat saya yang lagi di Jakarta, akan minta diantarkan ke Masjid Istiqlal. Tentu, selain untuk beribadah, tujuannya juga untuk berjalan-jalan.
Ya, Masjid Istiqlal, disadari atau tidak, sebetulnya telah menjadi salah satu objek wisata unggulan di Jakarta. Dalam hal ini, boleh disebut sebagai objek wisata religius.
Tak ada keluhan saya soal parkir kendaraan di dalam kawasan masjid. Saya selalu memilih masuk ke komplek masjid, tak mau menerima tawaran juru parkir liar di luar area masjid.
Bahkan, sejak dua tahun terakhir, seiring dengan selesainya renovasi masjid, tersedia tempat parkir yang luas di basement masjid.
Basement tersebut terdiri dari dua lantai yang daya tampungnya bisa memuat sekitar 1.000 kendaraan (gabungan mobil dan motor).Â
Kapasitas tersebut sepadan dengan kapasitas masjid yang jika dalam kondisi penuh oleh jemaah, bisa menampung puluhan ribu orang, seperti saat salat iedul fitri atau iedul adha.
Adapun tarifnya sama dengan tarif resmi di DKI Jakarta, untuk mobil Rp 5.000 pada jam pertama dan Rp 4.000 per jam untuk jam kedua dan seterusnya.
Sedangkan untuk motor tarifnya Rp 2.000 per jam, tanpa membedakan jam pertama atau jam berikutnya.
Kelemahan parkir di Masjid Istiqlal adalah tidak diperkenankannya bus pariwisata untuk parkir, hanya untuk mendrop dan menjemput pengunjung saja.
Bus-bus pariwisata yang biasanya disewa kelompok pengajian atau pelajar, terpaksa parkir di area Monas yang lumayan jauh dari Istiqlal.