Oleh karena itu, Menkes meminta hal ini harus dihentikan agar tidak turun temurun atau agar terputus mata rantainya.
Yang disampaikan Menkes belum separah contoh yang saya dengar. Ada seorang dokter umum alumni FK PTN di sebuah ibukota provinsi di Sumatera yang tak ingin masuk PPDS.
Ia merasa sayang membuang banyak uang di luar biaya resmi. Uang dimaksud adalah untuk memenuhi permintaan senior.
Katanya, dari pengalaman kakak angkatannya di kedokteran umum dan melanjutkan ke spesialis, ada senior yang mau ke Jakarta minta tiket pesawat pulang pergi.Â
Ada senior yang minta dibelikan laptop. Jelas harganya lebih mahal dibandingkan membeli makanan atau biaya foto kopi untuk kepentingan senior.
Di lingkungan keluarga besar saya, yang mencakup juga saudara sepupu dan keponakan, sudah ada beberapa orang yang berprofesi sebagai dokter.
Nah, ketika di media massa, khususnya di Koran Kompas, ramai mengupas soal depresi yang dialami sebagian calon dokter spesialis, saya sama sekali tidak kaget.
Kebetulan, adik saya seorang dokter spesialis penyakit dalam dan berlanjut lagi dengan menyelesaikan subspesialis hematologi onkologi medik.
Pengalaman adik saya yang mengambil program spesialis sekitar 21 tahun yang lalu (dan subspesialis 15 tahun lalu), tidak terdengar keluhannya yang terkait dengan perundungan.
Mungkin tidak ada atau ia tak mau menceritakan, atau memang ketika itu perundungan belum sebanyak beberapa tahun terakhir ini.
Namun, ada 2 orang keponakan saya yang mengkuti PPDS (yang satu baru selesai, satu lagi baru 1 tahun ikut program), membuat saya meyakini kebenaran pernyataan Menkes.