Kepada semua pembaca dan juga para penulis di Kompasiana yang merayakan Idul Fitri, perkenankan saya mengucapkan "Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1445 H". Taqabbalallahu minna wa minkum.
Berikutnya, kepada semua kompasianer tanpa kecuali, dari lubuk hati yang paling dalam, perkenankan pula saya memohon maaf lahir dan batin atas kesalahan saya selama ini.
Di hari lebaran ini, sering pula kita menerima ucapan "Selamat merayakan Hari Kemenangan". Nah, mari kita renungkan sejenak, kenapa disebut sebagai hari kemenangan.
Jadi, selain idul fitri disebut kembali ke fitrah, juga disebut Hari Kemenangan, karena selama satu bulan menang dalam mengendalikan hawa nafsu.
Lalu, apakah semua kita betul-betul layak dinobatkan menjadi pemenang? Tentu yang paling tahu adalah hati kecil kita masing-masing.
Artinya, mari kita sama-sama melakukan introspeksi, seberapa mampu kita mengendalikan hawa nafsu.Â
Mereka yang puasa sekadar mampu menahan nafsu makan dan minum di siang hari, itu baru keberhasilan dalam derajat paling rendah.
Kemampuan mengelola emosi menjadi salah satu indikator orang-orang yang betul-betul layak merayakan hari kemenangan.
Emosi itu sendiri bukan sesuatu yang harus dihilangkan, melainkan dikelola dengan baik. Tidak cepat naik darah, tidak gampang mengumpat dan menghujat, adalah contoh dari mengelola emosi.
Mereka yang menang juga punya indikator lain, yakni punya mental memberi, bukan mental menerima. Mereka lebih peka terhadap orang lain.