Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Status Warga Kelas Menengah, Kebanggaan atau Beban?

8 Mei 2024   05:49 Diperbarui: 8 Mei 2024   05:56 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Status yang melekat pada seseorang, yang menurut kacamata umum dianggap status yang terpandang, tentu akan mendatangkan kebanggaan pagi penyandang status tersebut.

Tapi, dari sisi lain, status tersebut bisa pula menjadi beban, karena mungkin tidak mudah untuk mempertahankan predikat yang telah disandangnya itu.

Dalam masyarakat jika dilihat dari status sosial, lazim ada 3 pengelompokkan, yakni warga kelas bawah, kelas menengah, dan kelas atas. 

Memang, status tersebut lebih kepada persepsi subjektif yang bisa saja keliru. Umpamanya, seorang pemulung dilihat dari penampilan, biasanya dianggap masuk kelas bawah.

Padahal, bisa jadi pemulung barang bekas yang sukses, punya kekayaan yang melebihi seorang karyawan kantor.

Demikian pula orang yang bergaya parlente yang tinggal di rumah megah dan punya mobil mewah, belum tentu masuk kelas atas. Bisa jadi utangnya di bank sangat besar.

Dianggap sebagai warga kelas atas akan membuat seseorang sangat terpandang dan dihormati. Tapi, jumlah warga kelas atas relatif segelintir saja.

Maka, tulisan ini terfokus membahas warga kelas  menengah yang umumnya bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS), karyawan tetap BUMN dan swasta, serta pelaku usaha yang mapan. 

Baik, kita bahas terlebih dahulu soal kebanggaan menjadi warga kelas menengah, kira-kira apa saja alasannya.

Pertama, kelas menengah itu pertanda penyandangnya sudah punya pekerjaan tetap, baik di instansi pemerintahan maupun di perusahaan swasta yang tergolong bagus.

Bisa juga kelas menengah itu pelaku usaha, tapi bukan lagi kelas pedagang asongan atau kali lima. Mereka sudah punya tempat yang permanen dan sudah punya beberapa orang anak buah. 

Kedua, penghasilannya tergolong lumayan, makanya mereka sudah punya rumah yang standar dan kendaraan roda empat meskipun jenis "sejuta umat".

Bahwa penghasilan yang lumayan itu banyak yang terpotong untuk cicilan kredit rumah dan mobil, itu tidak mengurangi statusnya sebagai kelas menengah.

Ketiga, pengetahuannya relatif luas. Latar belakang pendidikannya rata-rata minimal lulus sarjana strata 1. Jadi, dalam rapat-rapat di tingkat RT atau masjid, saran mereka didengarkan.

Kalaupun mereka bukan sarjana, mereka punya kemauan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan secara otodidak.

Keempat, secara umum mereka dipandang sebagai orang yang relatif sukses oleh masyarakat di lingkungan terdekatnya.

Sekarang, kita lanjutkan dengan melihat dari sisi sebaliknya. Kenapa status kelas menengah bisa menjadi beban.

Pertama, beban yang terkait dengan penampilan fisik yang perlu dijaga. Tentu, penampilan yang terjaga membutuhkan pengeluaran ekstra.

Kedua, beban karena relatif sering didatangi seseorang yang minta sumbangan, termasuk dimintai bantuan oleh famili, kerabat, dan teman yang sedang membutuhkan uang.

Ketiga, godaan konsumtif yang susah dilawan, jika punya dana lebih. Ingin mengganti kendaraan dengan yang lebih baik, mengganti telpon genggam, dan sebagainya.

Keempat, beban pertanggungjawaban di akhirat atas harta yang diperoleh, apakah digunakan dengan cara yang sesuai dengan ajaran agama atau tidak. 

Kalau dipikir dengan matang, menjadi kelas menengah dengan segala suka dukanya, wajib disyukuri. Manusia wajib berusaha secara maksimal, namun apapun hasilnya harus disyukuri.

Jika kita jadi warga kelas bawah, jangan berputus asa. Kalau kita sudah jadi warga kelas menengah, apalagi kelas atas, juga jangan bangga secara berlebihan.

Harta yang kita dapatkan bukanlah tujuan, namun alat untuk meningkatkan ibadah dan amal, dan agar memberikan manfaat bagi orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun