Kedua klub tersebut secara geografis sama-sama jauh dari Pulau Jawa. Jelas, Liga 1 lebih bernuansa nusantara yang menggambarkan sepak bola Indonesia yang lebih merata.
Namun, pemerataan antar daerah itu membawa konsekuensi semakin besarnya anggaran semua klub untuk biaya transportasi laga kandang.
Bayangkan, bila tim dari Sumatera bermain di Papua atau sebaliknya, betapa besar ongkos pesawatnya dan betapa lamanya dalam perjalanan karena harus 2 atau 3 kali transit.
Sebagai contoh, sewaktu Persiraja Banda Aceh berlaga di Biak, satu orang pemain menghabiskan biaya Rp 6-7 juta untuk sampai di Biak, atau Rp 12-14 juta pulang pergi.
Menurut Aceh.tribunnews.com (27/2/2024), pemain dan official Persiraja menempuh 32 jam perjalanan, 3 kali transit dan mengalami pergantian hari, baru bisa sampai di Biak.
Hal itu menyadarkan kita, betapa luasnya NKRI. Dari Aceh ke Papua bahkan lebih jauh dari London (Inggris) ke Moskow (Rusia).
Sedikit mengulas klub Semen Padang yang berjulukan "kabau sirah" atau kerbau merah, ini adalah satu-satunya klub di yang berkaitan dengan sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Klub kebanggaan urang awak itu berdiri tahun 1980 dan sudah melewati sejarah yang panjang. Awalnya, klub ini berkompetisi di era galatama, yang khusus bagi klub semi profesional.Â
Adapun klub perserikatan masih dianggap klub amatir, yang di Sumbar antara lain ada PSP Padang, berkompetisi dengan sistem turnamen dengan sesama klub perserikatan.
Persija, Persebaya, Persib adalah contoh eks. perserikatan, sedangkan Arema FC, Barito Putera dan Semen Padang FC adalah eks galatama.
Kedua kompetisi itu kemudian dilebur di mana klub perserikatan pun harus berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT) dan bertransformasi jadi klub profesional.