Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Ketika Anak Tak Mau Tahu Harta Ayah Bundanya

28 Februari 2024   05:58 Diperbarui: 28 Februari 2024   06:01 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita tentang kakak beradik yang bertengkar gegara rebutan warisan sudah sering kita dengar. Coba saja lacak pemberitaannya di media massa atau media daring, pasti banyak ditemukan.

Ironisnya, adakalanya harta yang diperebutkan nilainya relatif tidak besar, namun hubungan antar saudara jadi sirna, bahkan ada yang sampai kehilangan nyawa gara-gara warisan.

Tulisan saya kali ini tidak berkaitan dengan rebutan warisan, tapi justru kondisi yang sebaliknya, di mana ada juga anak yang sudah dewasa yang justru tidak tahu dengan harta ayah bundanya.

Bahkan, tidak hanya tidak tahu, tapi lebih tepatnya tidak mau tahu. Hal itu saya simpulkan dari sekian kali terlibat obrolan ringan dengan beberapa teman saya.

Kebetulan, saya punya bebarapa teman yang sekarang usianya sudah memasuki 60-an tahun. Mereka rata-rata pekerja keras yang sekarang sudah pensiun dari pekerjaan asalnya.

Ada yang dulunya bekerja di Kementerian Perhubungan, ada yang di perusahaan minyak, dan ada pula yang di sebuah bank milik negara.

Namun, mereka sekarang tidak betul-betul pensiun, karena tetap punya aktivitas yang juga memberikan penghasilan tambahan, selain uang pensiun bulanan yang mereka terima.

Apa yang digarapnya kok masih punya penghasilan tambahan? Ada yang punya kebun cabai, ada yang punya usaha kos-kosan di lokasi dekat kampus, ada pula yang punya toko pakaian.

Lalu, apa yang mereka keluhkan? Bukankah kehidupan mereka relatif nyaman dilihat dari kacamata umum? 

Nah, keluhan mereka terkait dengan anak-anak mereka yang seperti telah saya singgung di atas, terkesan tidak mau tahu dengan aset ayah bundanya.

Semua anak-anak mereka sudah dewasa, meskipun belum banyak yang sudah berumah tangga. Maksudnya, anak-anak itu sudah selesai kuliah S1 dan baru merintis karier.

Kalau boleh saya mengelompokkan, teman-teman saya itu sudah tergolong kelas menengah dalam strata sosial secara umum.

Indikatornya mereka punya rumah yang layak dan juga rumah lain yang dikontrakkan ke orang lain, punya kendaraan roda empat, dan punya aset-aset lain.

Namun, saya juga dapat informasi kalau teman-teman itu lahir dari keluarga yang sederhana. Artinya, orang tua mereka bukan termasuk kelas menengah.

Jadi, teman-teman saya itu bisa jadi sarjana betul-betul karena didikan hidup hemat oleh orang tuanya. Saat kos waktu kuliah, mereka memasak sendiri.

Makanya, teman-teman ini sangat menghargai keringat orang tuanya dalam membesarkan anak-anaknya.

Nah, keadaan sekarang berbeda. Anak-anak mereka hidup dari orang tua yang kelas menengah, gaya hidup anak-anaknya sangat berbeda dengan gaya hidup orang tuanya saat remaja dulu.

Mungkin si anak sudah kurang menghayati bagaimana proses perjuangan hidup ayah bundanya hingga bisa seperti sekarang punya aset yang lumayan.

Anak-anak mereka mungkin merasa hidup ini sudah enak-enak saja dari awal. Akibatnya, mereka cenderung jadi anak manja dan santai.

Apa yang diinginkan teman-teman saya sebetulnya sederhana saja, yakni bagaimana anak-anaknya punya perhatian dengan mengetahui apa saja aset-aset orang tuanya.

Jika aset itu berupa tanah, baik tanah kosong maupun ada bangunan atau kebunnya, si anak sebaiknya tahu lokasinya dan mengetahui status hukumnya, seperti hak milik atau bukan.

Kemudian, akan lebih baik bila anak-anaknya punya ide kreatif bagaimana memanfaatkan aset-aset itu sehingga makin berkembang lagi.

Kalau anak-anak tidak mau tahu, bisa jadi aset itu kelak tidak terurus dan malah bisa diserobot orang lain yang tidak berhak. 

Padahal, orang tua mereka menabung sedikit demi sedikit untuk bisa mendapatkan aset tersebut. Alangkah sayangnya, bila kelak tidak ada yang mengurus.

Saya sendiri tidak punya saran ke teman-teman saya itu, apa pendekatan yang harus mereka lakukan terhadap anak-anak mereka.

Tapi, yang ingin saya tekankan di tulisan ini, anak-anak yang rebutan warisan dan anak-anak yang tak mau tahu dengan harta ayah bundanya, sama-sama bukan kondisi yang diharapkan.

Sebaiknya secara bertahap sejak anak-anak sudah bersekolah, orang tua mulai memperkenalkan konsep kepemilikan harta dan manfaatnya kepada anak-anaknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun