Semua anak-anak mereka sudah dewasa, meskipun belum banyak yang sudah berumah tangga. Maksudnya, anak-anak itu sudah selesai kuliah S1 dan baru merintis karier.
Kalau boleh saya mengelompokkan, teman-teman saya itu sudah tergolong kelas menengah dalam strata sosial secara umum.
Indikatornya mereka punya rumah yang layak dan juga rumah lain yang dikontrakkan ke orang lain, punya kendaraan roda empat, dan punya aset-aset lain.
Namun, saya juga dapat informasi kalau teman-teman itu lahir dari keluarga yang sederhana. Artinya, orang tua mereka bukan termasuk kelas menengah.
Jadi, teman-teman saya itu bisa jadi sarjana betul-betul karena didikan hidup hemat oleh orang tuanya. Saat kos waktu kuliah, mereka memasak sendiri.
Makanya, teman-teman ini sangat menghargai keringat orang tuanya dalam membesarkan anak-anaknya.
Nah, keadaan sekarang berbeda. Anak-anak mereka hidup dari orang tua yang kelas menengah, gaya hidup anak-anaknya sangat berbeda dengan gaya hidup orang tuanya saat remaja dulu.
Mungkin si anak sudah kurang menghayati bagaimana proses perjuangan hidup ayah bundanya hingga bisa seperti sekarang punya aset yang lumayan.
Anak-anak mereka mungkin merasa hidup ini sudah enak-enak saja dari awal. Akibatnya, mereka cenderung jadi anak manja dan santai.
Apa yang diinginkan teman-teman saya sebetulnya sederhana saja, yakni bagaimana anak-anaknya punya perhatian dengan mengetahui apa saja aset-aset orang tuanya.
Jika aset itu berupa tanah, baik tanah kosong maupun ada bangunan atau kebunnya, si anak sebaiknya tahu lokasinya dan mengetahui status hukumnya, seperti hak milik atau bukan.