Biaya kuliah itu memang mahal, tapi kuliah menjadi pilihan yang paling banyak ditempuh para lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) maupun Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Hal itu juga didukung oleh para orang tua, yang sangat berharap anak-anak mereka akan cerah masa depannya setelah meraih gelar sarjana.
Maka, siswa-siswi SMA akan belajar keras agar mampu lolos seleksi masuk perguran tinggi (PT) yang diidamkannya, terutama PT berstatus negeri (PTN).
Sedangkan orang tua akan bekerja keras mengumpulkan uang, agar putra putrinya bisa mendapatkan pendidikan tinggi terbaik yang berbiaya mahal itu.
Biaya utama kuliah adalah Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dulu dikenal dengan nama Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP).
Selain itu, tentu ada biaya pembelian buku dan peralatan kuliah lainnya. Bagi anak daerah yang diterima di PT daerah lain, tentu perlu biaya kos dan biaya hidup sehari-hari.
Jika orang tua sedang belum punya uang, padahal anaknya yang kuliah sudah waktunya harus membayar UKT, maka meminjam uang menjadi langkah yang terpaksa diambil.
Tak sedikit orang tua yang menggadaikan sawah, perhiasan, atau aset berharga lain, demi keberhasilan studi anaknya.
Meskipun demikian, tak sedikit pula mahasiswa yang terpaksa menunggak membayar UKT akibat makin mahalnya biaya UKT.Â
Kemahalan itu tidak hanya terasa oleh mereka yang kuliah di PT swasta. bahkan sangat terasa pula di PTN.
Padahal, di era Orde Baru, ketika itu PTN yang tergolong 10 besar nasional pun SPP-nya relatif murah. Jadi, kemahalan ini bukan karena faktor inflasi saja, tapi juga dugaan komersialisasi.
Nah, ada berita yang menghebohkan dari kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), kampus yang sangat bergengsi di Indonesia.
Terhadap mahasiswa yang menunggak pembayaran UKT, pihak rektorat ITB menyediakan opsi agar mahasiswa mengambil pinjaman online (pinjol).
UKT sebesar Rp 12,5 juta, bisa dilunasi dengan pinjol resmi berizin dari OJK dan telah menjadi mitra ITB. Mahasiswa yang meminjam akan mencicil setiap bulan selama setahun.
Masalahnya, bunganya sangat besar. Total pengembalian yang diakumulasikan selama setahun sekitar Rp 15,5 juta, artinya ada bunga Rp 3 juta.
Bunga sebesar di atas, jika dipersentasekan, sekitar 24 persen per tahun. Besar bunga yang mungkin normal untuk pinjol, tapi sangat tinggi dibandingkan bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Kenapa tidak dikembangkan lagi Kredit Mahasiswa Indonesia sebagai produk perbankan yang difasilitasi dengan bunga sangat rendah yang disubsidi oleh pemerintah?
Barangkali pihak kampus punya niat baik, menilai adanya pinjol sebagai berkah. Tapi, dengan bunga tinggi itu, bisa-bisa jadi musibah.
Soalnya, jika mahasiswa terlambat mengembalikan pinjaman, utangnya bisa berlipat karena ada unsur denda atau biaya lainnya.
Apalagi, jika berkaca pada berbagai kasus yang diberitakan media massa, banyak orang yang meminjam ke pinjol seperti merasa "terjebak".
Tak heran, sebagian mahasiswa ITB sampai-sampai melakukan aksi demo menentang kebijakan kampus yang bekerja sama dengan penyedia aplikasi pinjol tertentu.
Dapat ditafsirkan bahwa mahasiswa yang demo menganggap seharusnya ada cara lain yang diberikan pihak kampus kepada mahasiswa yang menunggak.
Cara lain itu bisa berupa potongan UKT, perpanjangan masa pembayaran, pinjaman tanpa bunga atau dengan bunga sangat rendah, dan sebagainya.
Namun, pihak Rektorat ITB memberikan tanggapan bahwa ITB tidak menjadikan pinjaman daring sebagai opsi utama dalam pembayaran UKT (Kompas.id, 1/2/2024).
ITB juga memperbolehkan 182 mahasiswa jalur reguler yang menunggak pembayaran UKT mengikuti perkuliahan.
Jadi, kerja sama dengan platform pinjaman daring Danacita hanya menjadi salah satu opsi pembayaran bagi mahasiswa yang belum melunasi UKT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H