Padahal, di era Orde Baru, ketika itu PTN yang tergolong 10 besar nasional pun SPP-nya relatif murah. Jadi, kemahalan ini bukan karena faktor inflasi saja, tapi juga dugaan komersialisasi.
Nah, ada berita yang menghebohkan dari kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), kampus yang sangat bergengsi di Indonesia.
Terhadap mahasiswa yang menunggak pembayaran UKT, pihak rektorat ITB menyediakan opsi agar mahasiswa mengambil pinjaman online (pinjol).
UKT sebesar Rp 12,5 juta, bisa dilunasi dengan pinjol resmi berizin dari OJK dan telah menjadi mitra ITB. Mahasiswa yang meminjam akan mencicil setiap bulan selama setahun.
Masalahnya, bunganya sangat besar. Total pengembalian yang diakumulasikan selama setahun sekitar Rp 15,5 juta, artinya ada bunga Rp 3 juta.
Bunga sebesar di atas, jika dipersentasekan, sekitar 24 persen per tahun. Besar bunga yang mungkin normal untuk pinjol, tapi sangat tinggi dibandingkan bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Kenapa tidak dikembangkan lagi Kredit Mahasiswa Indonesia sebagai produk perbankan yang difasilitasi dengan bunga sangat rendah yang disubsidi oleh pemerintah?
Barangkali pihak kampus punya niat baik, menilai adanya pinjol sebagai berkah. Tapi, dengan bunga tinggi itu, bisa-bisa jadi musibah.
Soalnya, jika mahasiswa terlambat mengembalikan pinjaman, utangnya bisa berlipat karena ada unsur denda atau biaya lainnya.
Apalagi, jika berkaca pada berbagai kasus yang diberitakan media massa, banyak orang yang meminjam ke pinjol seperti merasa "terjebak".
Tak heran, sebagian mahasiswa ITB sampai-sampai melakukan aksi demo menentang kebijakan kampus yang bekerja sama dengan penyedia aplikasi pinjol tertentu.